Monday, April 03, 2006

TEMBALAK


Kata ini seakan tiba-tiba saja muncul dari alam bawah sadarku, saat beberapa waktu lalu pulang ke kampung halaman tercinta. Masa libur yang dianjurkan (baca: setengah dipaksakan) oleh pemerintah, untuk menghindari penyimpangan Harkitnas (hari kejepit nasional), ternyata bertepatan dengan kunjungan rutin saudara-saudara Tionghoa asal Pontianak untuk bersembahyang kubur. Akibatnya, harga tiket pesawat ke Pontianak melonjak berkali lipat. Kalau biasanya dengan enam ratus ribuan sudah bisa mendapatkan tiket bolak-balik, saat-saat begitu ternyata jumlah sedemikian hanyalah cukup untuk satu kali jalan saja. Walaupun di tiket yang diberikan tertera nominal harga yang lebih kecil jauh dari yang harus dibayarkan.
Permainan busuk antara otorita bandara, calo dan perwakilan maskapai penerbangan merupakan penyebab dari kenaikan harga yang demikian. Memang secara teoritis, akan terjadi peningkatan harga seiring dengan meningkatnya permintaan. Tapi kalau saja tak ada ’kolusi’ diantara mereka, tentunya lonjakan harga tiket itu tidak lah akan setinggi demikian.
Nah, kala sedang menunggu keberangkatan kembali ke Jakarta di Bandara Supadio, yang saat itu sedang direnovasi, sehingga lebih mirip kapal pecah atau terminal bis itu, aku merenungi kebusukan pertiketan transportasi yang terjadi. Kayaknya, kita semua sudah mengetahuinya, seperti halnya korupsi yang berlangsung, baunya bisa kita endus, tapi sulit sekali menyelesaikan. Cukup lama memikirkan tentang kebusukan inilah, yang mengakibatkan kata tembalak kembali menyeruak di benakku. Aku mengenang saat masih suka mencecak lumpur dan berenang di parit, tembalak sering kali aku dan teman-temanku persalahkan. Jika seseorang dari kami buang angin (bace: kentut) dengan bau busuk, maka kata-kata tembalak lah yang meluncur dari mulut yang lainnya. Wajar saja, saat itu kami sering makan secara tak teratur dan lebih banyak main, sehingga bau yang keluar itu mirip dengan baunya tembalak. Tembalak sendiri adalah sebutan khas orang Pontianak kepada telur yang tidak ditetaskan dengan sempurna, sehingga membusuk. Dan biasanya p***m**-nye merupakan kata ikutan yang paling pas untuk menyertai tembalak, bisa saja sebelum ataupun sesudahnya. Hehehehe.

1 Comments:

Blogger Unknown said...

Jadi bise dimakan ndak bang?

10:17 PM  

Post a Comment

<< Home