Tuesday, September 15, 2009

Balek Kampong ber-Lawit Sirimau

Balek kampong atau mudik merupakan sebuah budaya yang jamak berlangsung rutin setiap tahun dimana lokasi di Nusantara ini. Fenomena ini biasanya terjadi seiring dengan berlangsungnya hari raya, seperti: lebaran, tahun baru, natal ataupun imlek. Jakarta, Medan, Surabaya dan banyak kota-kota besar lainnya akan mengalami pengurangan penduduk pada masa-masa ini. Kehidupan metropolitan yang biasanya padat menjadi lenggang dalam beberapa saat, dan akan kembali ke keadaan semula beberapa saat setelah para pemudik kembali, bahkan terkadang keadaannya menjadi lebih parah. Banyak di antara pemudik yang kemudian membawa serta sanak familinya untuk bertarung di keganasan kota besar. Urbanisasi, begitu para pakar menyebut kejadian ikutan dari fenomena mudik ini. Jika ditilik sedikit mendalam, fenomena mudik sebenarnya menghadirkan arus balik kapital dari pusat-pusat penyerapan kapital ke daerah-daerah. Padahal biasanya, penghisapan kapital atau diistilahkan juga sebagai capital flight ini berlangsung sangat deras dan menjadikan penumpukan kapital di daerah-daerah yang disebut pusat-pusat pertumbuhan atau penumpukan ekonomi, seperti kota-kota besar. Nah, saat mudik, para pemudik setidaknya akan membelanjakan uang yang mereka peroleh di pedesaan atau daerah, baik untuk membeli makanan atau sekedar memberikan angpao (sanggu) buat sanak keluarga yang datang. Walaupun tak lah mencapai terjadinya kesetimbangan dari yang sudah ditarik, tapi lumayan jua uang ini bisa memunculkan peluang ekonomi baru di desa ataupun daerah.

Hukum ekonomi menyatakan, akibat meningkatnya permintaan pada saat yang bersama, pasti akan diikuti oleh peningkatan harga, karena penyedianya memiliki keterbatasan. Diakibatkan oleh mudik, biasanya akan pula terjadi peningkatan harga atau tarif jasa moda transportasi. Pemerintah kemudian memperkenalkan tuslah sebagai batasan tarif tertinggi agar para penyedia jasa tidak melakukan penghisapan yang berlebihan. Walaupun sudah menyadari kondisi yang demikian akan terjadi, namun diakibatkan ketidakpastian jadwal, aku pun terpaksa menerima harga tiket pesawat yang mungkin melebihi tuslah untuk menunaikan balek kampong di masa lebaran tahun ini. Apa mau dikata, hukum pasar berjalan sangat baik. Penerbangan ke Pontianak di masa lebaran meningkat drastis. Tak hanya yang hendak berlebaran saja yang menyerbu tiket pesawat ke sana. Para perantau Tionghoa pun memanfaatkan masa-masa libur lebaran untuk ikut pula balek kampong. Suasana lebaran yang hangat, pulangnya para karyawanya serta berkurangnya sebagian besar penduduk yang membuat usahanya menjadi kurang menguntungkan merupakan beberapa alasan yang disampaikan karib Tionghoaku, saat kutanya mereka mengapa ikut balek kampong di masa lebaran.

Masa-masa balek kampong selalu mengingatku dengan kebiasaan ber-balek kampong saat dulu masih berkuliah di Bogor di awal hingga pertengahan 1990-an. Saat itu, bagi mahasiswa perantau dari kampongku, hanya yang memiliki orang tua yang sangat berpunya sajalah yang dapat menikmati balek kampong dengan pesawat udara atau terjadi sebuah kejadian luar biasa, seperti yang kualami pada saat ayahku meninggal. Pelaku pasar di penerbangan domestik saat itu masih dibatasi, hanya ada Garuda, Merpati dan Mandala semata. Harga tiket penerbangan pun akhirnya menjadi masih sangat mahal, maklum deregulasi dibidang penerbangan belum terjadi. Sehingga kawula umum, seperti halnya diriku, selalu menggunakan kapal laut untuk menunaikan keinginan balek kampong ataupun kembali lagi ke perantauan di tanah Jawa. Kapal yang paling umum memberikan pelayanan adalah kapal penumpang yang dimiliki oleh Pelni. Selama lima tahun, seingatku setidaknya empat kapal yang pernah melayani perjalananku, diantaranya: Kapal Motor (KM) Lawit, KM Sirimau, KM Bukit Raya, dan KM Leuser.

Jika hendak balek kampong, jalur pelayaran yang kutempuh adalah Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta ke Pelabuhan Pontianak, karena pelabuhan pemberangkatannya yang berada paling dekat dengan perantauanku. Namun jika hendak kembali ke perantauan, setidaknya aku memiliki tiga altenatif jalur pelayaran yang semuanya pernah kulalui, yakni: Pelabuhan Pontianak menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Pontianak menuju Pelabuhan Cirebon dan Pelabuhan Pontianak menuju Tanjung Emas di Semarang. Biasanya,. jadwal yang paling mendekati waktu masuk kembali perkuliahanlah yang paling menentukan pilihanku. Toh, waktu tempuh dari Semarang ke Bogor hanyalah tak lebih dari 12 jam dan bis yang mengubungkan kedua kota itu pun tersedia hampir setiap jam.
Waktu tempuh yang biasanya harus dihabiskan di kapal kurang lebih 36-40 jam, jika lancar. Keterlambatan biasanya diakibatkan kelebihan penumpang dari daya angkutnya, yang mengakibatkan kapal tak bisa melaju dengan kecepatan penuh dan bongkar muat menjadi lebih lama. Masa itu, sudah bukan rahasia umum lagi, jika di masa-masa liburan, kerap terjadi kolusi diantara agen penjualan, pihak penyedia jasa (termasuk tentunya para nahkoda) dan syahbandar pelabuhan untuk menjual tiket yang melebihi kapasitas angkut. Penyebab lain dari keterlambatan adalah tak bersahabatnya cuaca, utamanya di musim angin Barat pada bulan November sampai Januari. Apalah lagi buat diriku yang cukup akrab dengan mabuk laut. Taklah pernah luput antimo dan susu ultra menjadi bekalku sebelum naik kapal. Antimo tentunya untuk meredam mabuk dan susu ultra untuk mengisi perut, karena tak sanggup aku memakan makanan padat pada masa gelombang tinggi, bisa-bisa tiap 10 menit terpaksa harus jackpot atau muntah.

Di masa-masa libur kuliah, mahasiswa merupakan populasi tertinggi dari penumpang kapal itu. Sehingga, waktu 1 hari 2 malam di atas kapal menjadi masa yang menarik sekali. Kapal menjadi titik temu (melting point) dari beberapa teman lama yang terpisah tempat berkuliah. Ruang tidur kelas ekonomi yang mirip bangsal dan kafetaria yang ada di dek tertinggi kapal kerap menjadi tempat diskusi, tukar pengalaman, bermain remibok (sejenis permainan kartu) yang terkadang juga dilengkapi taruhan uang secara sembunyi-sembunyi, medium sakat-menyakat (cela-celaan) bahkan juga ngurat (pendekatan kepada) lawan jenis. Sore dan pagi hari di masa hari tak berbadai dan hujan, dek kapal menjadi ruang mejeng dari penumpang kapal untuk menikmati matahari terbit dan terbenam. Pun, saat-saat mau merapat atau berangkat dari satu pelabuhan.

Bagiku, KM Lawit merupakan kapal yang punya banyak cerita dan sejarah. Kapal ini merupakan kapal yang terbanyak mengangkutku untuk balek kampong dan juga kembali ke perantauan. Pernah pula, saat mengunjungi kampung halaman ayahku di Sumatera, kapal inilah yang kutumpang dari Pontianak menuju Pelabuhan Duri di Riau yang memakan perjalanan hingga 5 hari 6 malam pada 1990, sebelum akhirnya perjalanan dilanjutkan menggunakan jalan darat ke Padangsidempuan di Tapanuli Selatan. Lama waktu ini juga merupakan waktu terlama aku yang pernah kuhabiskan di atas kapal laut. Kapal tertua yang melayani pelayaran ke Pontianak ini pernah pula kutumpangi dengan gratis, walaupun terpaksa harus menjadi pencuci piring di kapal selama pelayaran. Memang karena tak beruang dan terbujuk rayu teman-teman dair kampong halaman yang kujumpai di Pelabuhan Tanjung Priok saat mengantar seorang teman dari Bogor. Tak terpikir sebenarnya hal itu kulakukan, namum apian (provokasi) beberapa teman tentang ketidaknyamanan berlebaran di perantauan membuatku nekat mencoba upaya itu. Keraguanku sirna saat seorang teman berteori taklah mungkin penumpang tak bayar akan dilemparkan ke laut atau di hukum berat, jika mengaku tak punya uang dan ingin kembali ke kampung halaman. Apalah lagi, gayaku yang lusuh dan tak membawa bekal selembar pakaian pun dipandang cukup dapat memperkuat skenario itu. Rupanya, pada waktu itu, tidak sendiri aku melakukannya, ada dua teman mahasiswa dari kota lain yang melakukan hal yang sama. Untunglah, ada teman yang berbagi nasib dimaki-maki nahkoda dan juga anak buah kapal yang lain.

KM Lawit akan sangat membekas di hati masyarakat Kalbar yang pernah menggunakan jasanya. Seorang temanku pernah bercerita, entah ini sebuah rekayasa atau memang kejadian sesungguhnya. Saat ia hendak menjemput seorang adiknya di pelabuhan yang menggunakan KM Sirimau, ia bertanya pada seorang tukang becak yang mangkal di depan pelabuhan tentang kapal apa yang merapat. Cukup terkejut ia, saat dijawab oleh tukang becak itu, yang sedang merapat adalah Lawit Bukit Raya dan Lawit Sirimaunya baru akan mendarat 2 jam lagi. Tampaknya, Lawit bahkan sudah menggantikan dan lebih populer dari istilah kapal motor. Setelah lebih dari 10 tahun tak pernah lagi menggunakan jasanya, karena semakin terjangkaunya tiket pesawat dan keterbatasan waktuku. Terakhir kuingat empat atau lima tahun yang lalu masih kulihat wujudnya, saat menjemput adikku pulang dari tanah rantau. Kini, kerinduan akan dirinya muncul di musim balek kampong ini. Ingin sekali rasanya mengetahui bagaimana kabar kapal itu saat ini. Masihkah ia beroperasi dan masihkan segagah dulu saat membawaku ke perantauan dan balek kampong?

Friday, September 11, 2009

Keriang Bandong

Ramadhan sudah memasuki sepertiga akhirnya. Bulan penuh berkah dan rahmat ini perlahan akan segera berganti ke bulan Syawal yang melambangkan kembali pada kesucian hakiki. Kerap diriwayatkan oleh para pensyiar, sepertiga akhir ini sejatinya merupakan waktu di mana berkah dilimpahkan, bahkan di salah satu malam ganjilnya, dikhabarkan merupakan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Masa-masa ini adalah masa yang dinanti oleh banyak orang untuk bertafakur ke hadapan Sang Khaliq.

Pun, dulu pada masa kecilku masa ini juga merupakan masa yang kunantikan. Ada sebuah tradisi yang ganjil rasanya, jika tak kami tunaikan di penghujung puasa ini. Tradisi ini sangat erat hubungannya dengan cara menyambut malam lailatul qadar. Beberapa kelompok masyarakat percaya bahwa agar para malaikat berkenan mencatat amal perbuatan kita di malam itu, maka sebaiknya rumah kita dilengkapi penerangan di sekitar rumah dalam menyambut malam agung itu. Maka tak jarang tradisi memasang penerang pun banyak kita jumpai di penjuru nusantara ini.

Di kampongku tercinta, Pontianak, tradisi serupa lebih dikenal melalui pembuatan dan pemasang keriang bandong di sekitar rumah. Keriang bandong adalah semacam lampion dengan penerang lilin di dalamnya. Rangkanya berasal dari rautan buluh (bambu) yang dilapisi kertas minyak, baik yang hanya didominasi satu warna ataupun berwarna-warni. Di zamanku, bentuk keriang bandong yang banyak dibuat seingatku berbentuk limas, rumah, mobil sederhana, ikan, pesawat ataupun burung. Kesederhanaan bentuk kurasa menjadikannya penyebab kenapa desain-desain ini yang paling banyak dibuat. Maklum saja, karena yang membuatnya sebagian besar adalah anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Aktivitas pembuatannya pun sekedar kegiatan mengisi waktu sembari menanti saat berbuka tiba.

Kuduga tradisi ini erat pengaruhnya dari tradisi yang dibawa oleh pemukim Cina di kampongku, yang juga mengenal permainan ini sebagai tanglong. Namun, entah dari mana istilah keriang bandong ini berasal. Menurut Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kota Pontianak H Syafruddin IB (dalam http://efprizan.blogspot.com), ia menerka, “Keriang kan nama binatang yang mengeluarkan bunyi khas di malam hari. Keriang suka dengan cahaya dan datang berbondong-bondong. Mungkin dari situlah namanya diambil, jadi keriang bandong”. Aku sendiri menduga, bungkusnya yang menggunakan kertas minyak itu, membuat permainan ini menyerupai keriang, sejenis kumbang berwarna hijau yang memiliki sayap transparan dan sering mengeluarkan bunyi di malam hari. Serangga yang digolongkan ke dalam ordo Hemiptera dan sub ordo Cicadomorpha ini, dalam bahasa Indonesia lebih dikenal sebagai tenggoret atau cicada dalam bahasa Inggrisnya. Sementara bandong sendiri mungkin berasal dari kebiasaan orang memasang aksesoris ini di pinggir parit dan menyerupai kapal bandong (klotok) yang sedang tambat (menepi) di pinggir sungai di malam hari.

Di masa itu, sehabis shalat taraweh, sering kali kami mengarak keriang bandong kami keliling kampung dan beberapa di antaranya ada yang mengadu kekuatan keriang bandongnya. Rusak, patah dan terbakarnya keriang bandong kami adalah resiko yang akan kami peroleh dalam aduan ini. Sembari mencari lawan aduan, biasanya beberapa anak membawa keriang bandong berjalan berarakan. Dalam arak-arakan kami itu, ada sebuah lagu yang khas kami nyanyikan berulang-ulang, yaitu: “Hee...Mantoyo, Mane Musoh, Agogo.” Sehabis arak-arakan, bisanya, kami akan mengembalikan keriang bandong kami ke tempatnya, yakni di pinggir parit yang ada di depan rumah atau di depan pagar masuk rumah kami masing-masing.

Permainan ini dapat berlangsung berjam-jam hingga menapaki tengah malam. Akibatnya, saat pulang ke rumah, omelan lah yang akan menanti. Apalah lagi, saat-saat ini adalah juga saat genting bagi para ibu kami. Ritual membuat kue lebaran, pastinya membutuhkan tenaga tambahan. Sudah juga tradisi, jika masa-masa ini para ibu kerap absen di mesjid dalam bertaraweh diakibatkan kesibukan membuat beragam kue, agar marwah keluarga tak turun di hadapan sanak keluarga di hari raya. Nah, anak-anak seperti kami dulu, pasti bermanfaat, dalam menambah tenaga bantuan. Setidaknya untuk mengoleskan kuning telur di atas kue yang akan dipanggang, memarut nanas untuk bahan nastar ataulah mengupas kacang yang akan digoreng kering dan jadi sajian khas lebaran. Di masa itu, ada saja cara yang aku dan teman-teman sebaya buat untuk tetap dapat bermain keriang bandong dan menghindari kewajiban turut membantu membuat kue. Sayangnya, kini tak lagi banyak kulihat anak-anak yang berkeliling kampong membawa keriang bandong. Lampu listrik kelap-kelip menyerupai lampu natal tampaknya di beberapa rumah sudah menggantikan fungsi keriang bandong ini. Namun, keriang bandong kini sudah naik kelas, karena sudah ada yang mulai memperjualbelikannya secara massif dan juga telah difestivalkan.

Wednesday, July 22, 2009

Gerobak Pasir

Perjalananku ke Sipirok kali ini kusempatkan mampir ke sebuah tempat yang memiliki keterkaitan amat erat dengan diriku. Yakni mengunjungi sebuah kuburan tua, yang dugaanku telah berumur lebih dari 500 tahun. Kuburan yang berada di puncak sebuah bukit berjarak 2 km dari Desa Sampean, Sipirok itu adalah kuburan dari Oppu Nihatunggal, yang merupakan satu dari tiga migran Siregar yang merantau dari Lobu Siregar di Kecamatan Muara di pinggir Danau Toba ke Sipirok di Tapanuli sebelah selatan. Jika kulihat tarombo (silsilah keluarga) yang kumiliki, aku adalah keturunan ke-13 dari beliau. Sebagai seorang yang dibesarkan bukan di tanah Batak, pengalaman ini cukup berarti bagiku.

Bekerja di perantauan yang merupakan tanah asal ayah dan ibuku, memberikan kesempatan untuk memperlancar bahasa Batak (yang masih saja dapat dikategorikan marpasir-pasir) dan memahami kembali adat Batak yang diperkenalkan ayah-ibuku. Kalaulah dulu hal ini hanya menjadi sebatas pengetahuan semata, sekarang mungkin kucoba melihat realitas dan nilai di baliknya. Sewaktu masih menetap di tanah kelahiran dimana tembuni (ari-ari)ku ditanam, Pontianak, tak jarang aku mendapat julukan gerobak pasir atau gerombolan Batak payah diusir. Ah, ada-ada saja julukan itu. Padahal keinginan untuk membangun kampung halamanlah yang menjadikannya pilihanku untuk kembali paska menuntut ilmu di tanah Jawa.

Migran Batak tampaknya mulai berdatangan ke Pontianak dan daerah lain di Kalbar pada awal 1900-an. Keterbukaan akses transportasi dan kebutuhan tenaga administrasi penjajah Belanda mungkin menjadi pemicunya. Maklum saja, Tapanuli merupakan salah satu tempat paling awal didirikannya sekolah berkurikulum barat di Nusantara. Hingga akhir penjajahan Belanda tampaknya ada beberapa migran Batak yang punya posisi penting di pemerintahan dan tampaknya sudah pula sampai di daerah perhuluan. Pernah kudengar kabar pada masa itu ada seorang bermarga Siregar yang menjadi Demang di Kapuas Hulu. Berdasarkan data korban kejadian Mandor di Surat Kabar Borneo Shimboen (Banjarmasin) pada 2 Juli 1944, yang kuunduh dari situs Nederlands instituut voor oorlogsdocumentatie, pun terdapat beberapa orang Batak yang menjadi korban dan dikategorikan sebagai dedengkot gerombolan pemberontakan oleh Angkatan Laut Tentara Pendudukan Jepang, diantaranya: Lumban pea (43 tahun), Panangian (48 tahun) dan istrinya Nurlela (45 tahun), Abdoel Samad (51 tahun), Nazarudin (35 tahun), Tamboenan (29 tahun), dan Nasrun Soetan Pangeran (31 tahun).

Jumlah perantau Batak di Kalbar, utamanya di Pontianak, hingga akhir 1970-an masihlah terbatas. Kebanyakan masih didominasi pegawai, guru dan militer. Maklum karena masih sedikit, pada masa itu, suasana kekerabatan para perantau Batak cukup erat. Jika lebaran tiba, aku sekeluarga pasti akan bersilaturahmi ke beberapa keluarga Batak yang muslim, seperti opung Siregar mantan Bupati Sanggau di Jalan Budiman (sekarang Jalan Piere Tendean), opung Siregar di sebelah mesjid Jihad, opung Siregar (seorang Patuan/ raja adat dari Sipirok) di Komplek Pemda Kota Baru, opung Siregar di Jalan Sidas, opung Nasution mantan pegawai Dinas Perkebunan di Podomoro, opung Batubara di Gang Batubara (yang nama gangnya diambil dari nama beliau) di Jalan Veteran (sekarang Jalan Johar) dan lainnya. Nah, sementara jika tahun baru tiba, kami akan bertahun baru ke rumah keluarga Batak Nasrani yang merayakannya, seperti: opung Siregar mantan Pelni di Lembah Murai, opung Simanjuntak di Gang Tani (sekarang Jalan Putri Dara Hitam), opung pendeta Silitonga di Karimun dan amatua Siregar di Jalan Veteran.

Meningkatnya migran Batak di Kalbar terjadi sejak 1980-an, terutama distimulasi oleh pembukaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PTP VII (sekarang dilebur ke dalam PTP XIII), dimana perusahaan ini berkantor pusat di Bah Jambi, Sumatera Utara. Banyaklah teknisi perkebunan yang dipindahkan ke Kalbar oleh perusahaan ini dari Sumatera Utara, yang cukup banyak diantara mereka adalah orang Batak. Hal ini didukung pula semakin lancarnya transportasi dari Sumatera-Kalimantan. Kuperkirakan lebih dari 2.000 keluarga perantau bermukim menyebar di sekitar Pontianak. Anggota Saroha, yang merupakan perkumpulan Batak Islam, dugaanku mencapai lebih dari 500 keluarga. Lihat juga keberadaan gereja Batak yang ada. HKBP (Huria Kristen Batak Protestan, gereja Batak terbesar dan mayoritas anggotanya berasal dari sub etnis toba) setahuku punya 3 buah gereja (Kota Baru, Jeruju dan Siantan), GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) memiliki sebuah gereja yang berada di depan Kantor Gubernur Jl. Ahmad Yani, dan GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) memiliki sebuah gereja yang berada di Jl. WR Supratman. Mungkin karena keterbatasanku saja yang belum menjumpai beberapa gereja Batak lainnya, seperti: GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola), HKI (Huria Kristen Indonesia) ataupun GKPPD (Gereja Kristen Protestan Pakpak-Dairi).

Identitas kebatakanku taklah pernah kusembunyikan. Margaku pun selalu kububuhkan di belakang namaku. Bahkan di masa SMA, teman-teman pun punya panggilan khas buatku yakni Bang Lae. Baik lelaki ataupun perempuan memanggilku dengan panggilan tersebut, yang mungkin bagi orang Batak dirasakan mengganjal. Lae adalah panggilan yang berlaku hanya buat seorang lelaki pada lelaki lainnya, khususnya yang berhubungan ipar. Aku merasa tumbuh dalam dua kultur yang tak bisa kupisahkan, yakni kultur Batak yang secara genetik dan dalam keluarga diajarkan, serta kultur Melayu yang melingkupi keseharianku dalam pergaulan. Bagiku Melayu taklah terbatas pada hakikat kesukuan (etnicity) semata, namun jauh melampaui itu, yakni peradapan (society). Kemelayuanku, kerelaan menjaga marwah Melayu dan kecintaanku pada tanah Melayu taklah perlu dipertanyakan, walaupun tak ingin pula aku ikut dalam kelaskaran Melayu yang marak paska reformasi bergulir.

Bolehlah kumodifikasi sedikit sebuah pantun yang diperkenalkan kembali oleh Sutardji Kalsum Bahri, presiden penyair Indonesia, pada sebuah peringatan mengenang Raja Ali Haji --sang pencipta Gurindam Dua Belas-- yang kuhadiri di Jakarta lebih dari 10 tahun lalu, yakni:
"Bukan kampak (versi Bang Tardji: linggis) sembarang kampak... Kampak ada dalam perahu... Bukan Batak (versi Bang Tardji: Bugis) sembarang Batak... Batak sudah menjadi Melayu".

Monday, July 13, 2009

Sentiong

Akhirnya tuntas juga kubaca buku yang telah lama kucari-cari ini. Buku terjemahan yang berhalaman cukup lumayan tebal ini berkali-kali muncul kala sedang mencari infomasi tentang kampung halamanku di mesin pencari google. Buku berjudul asli “Golddiggers, Farmers, and Traders in The Chinesse District of West Kalimantan Indonesia” yang dikarang oleh Mary Somers Heidhues dan terjemahannya diterbitkan oleh Yayasan Nabil ini melengkapi koleksi referensiku tentang sejarah pemukim Cina di Kalbar. Setelah beberapa tahun yang lalu di sebuah situs kujumpai sebuah disertasi dari Universitas Leiden berjudul Chiness Democracy yang ditulis oleh Yuan Bingling (www.xiguan.net/yuanbingling), yang mengambil pengamatan pada kurun waktu yang berdekatan.

Kedua refensi ini sangat memberikan gambaran utuh tentang kampung halamanku di era 1700 hingga awal 1900an--kala para migran china di awal-awal bermukim di tanah yang kaya emas, kalimantan--, baik menyangkut pertarungan politik maupun pengusahaan ekonomi. Pembelajaran masa lalu ini menarik sekali untuk diambil hikmahnya. Dimana kerap kali terlihat keinginan dominasi atas penguasaan sumber ekonomi oleh segelintir elit akan dengan mudah mengorbankan rakyat yang tak berdosa. Dan cara-cara kekerasan dengan mempergunakan atribut etnisitas akan dengan mudah memperbesar eskalasi konflik yang sekaligus menutupi kepentingan penguasaan sumber daya. Padahal di ujung cerita, setelah konflik usai ternyata keinginan penguasaan itupun taklah pula berbuah kemakmuran ataulah kejayaan. Sebaliknya luka pada pola relasi antar etnisitas yang ada menjadi semakin melebar.

Pemukim Cina menurut amatanku sejatinya telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan Kalimantan Barat. Interaksi mereka dengan penduduk lokal dapatlah dikatakan amat erat. Teknologi pertambangan dan pertanian yang mereka bawa cukup banyak berkontribusi pada praktek yang berlangsung hingga saat ini. Penggunaan air yang dialirkan di alur emas yang ada dan pengaturan bagi air limbah yang dihasilkan dari proses penambangan diperkenalkan oleh para migran yang ulet ini. Demikian pula dengan beberapa peralatan pertanian seperti tajak, mata cangkul yang khas dan peralatan pertanian lainnya. Pun budidaya padi sawah beririgasi, pertanian sayur, lada dan karet tak lepas dari pengaruh mereka.

Saat melihat sketsa kota Pontianak di pertengahan 1800-an, yang menjadi sampul buku terjemahan ini, ingatanku pun melayang pada sebuah nama yakni Sentiong. Nama ini serupa dengan nama lokasi sejenis di Jakarta, yakni Kramat Sentiong, yang juga merupakan sebuah kawasan pekuburan Cina. Mungkin saja beberapa migran awal Cina yang bermukim di Kota Pontianak dan sekitarnya dikuburkan di kawasan pekuburan ini. Sayang untuk membuktikannya tak lah dapat kulakukan. Lokasi ini telah lenyap dimakan peradaban baru. Pembangunan dan modernitas tampaknya tak bersahabat dengan situs-situs tua, yang cenderung dipandang kuno ataupun tertinggal.

Hingga akhir 1970-an ataupun awal 1980-an lokasi ini masih belum banyak berubah sebagai kawasan pekuburan. Namun tuntutan perkembangan kota akhirnya menggusurnya menjadi kawasan perkantoran dan perumahan pegawai pemerintah. Kini, setelah lebih 25 tahun kemudian, kawasan yang dulu tampak angker itu, telah berubah menjadi kawasan elit Kota Pontianak. Kawasan yang dulu di rencana awalnya, hanya akan dimanfaatkan sebagai kawasan perkantoran, pendidikan dan pemukiman pegawai ini, telah pula disisipi beberapa fasilitas bisnis, seperti ruko, rukan, rumah sakit bahkan mall. Kawasan ini dimasaku SMA, di akhir 80 hingga awal 1990-an, terkenal dengan sebutan LA atau lintas ayani. Sebutan ini mengikuti trend yang sedang marak pada masa di ibukota yang memiliki Lintas Melawai. Pada masaku SMA, jalan ini menjadi tempat nongkrong utama, yang merupakan tujuan utama bagi kami di malam minggu atau sekedar berjalan-jalan sore. Tampaknya, nongkrong di sekitar LA ini sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke mall ataupun café-café yang bertumbuhan. Pun kebiasaan yang ada dizamanku telah pula digerus oleh trend baru yang muncul dikemudian.

Sunday, February 08, 2009

Ngaret

Libur yang cukup panjang di akhir tahun membuatku leluasa untuk pulang ke kampung halaman di Pontianak.Tak banyak yang berubah memang, namun bagiku ada sebuah sejarah baru yang patut dikenang. Sejarah itu adalah untuk pertama kalinya dilantik sepasangan pemimpin kota yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Uniknya, walaupun dapat dikatakan pasangan incumbent karena walikota terpilih adalah ex wakil walikota pada periode sebelumnya, sedangkan wakil walikota terpilih merupakan seorang yang beretnis Madura. Bagiku ini merupakan pengakuan politis akan eksistensi etnis yang sudah sedari dulu menjadi bagian dari masyarakat Kalimantan Barat.

Sedikit menyesal diriku karena tidak dapat hadir dalam acara pelantikan, padahal walaupun sudah selama 3 tahun terakhir berada di perantauan, ternyata aku masih dapat undangan resmi untuk mengikuti acara ini. Jika saja aku datang dua hari lebih awal tentunya bisa kuhadiri acara yang bersejarah tersebut.

Berdasarkan beberapa catatan para peneliti, masyarakat Madura sudah sejak awal abad ke-20 bermigrasi ke Kalimantan Barat. Umumnya mereka bekerja di sektor informal, yang tidak terlalu mempersyaratkan pendidikan tertentu. Mulai dari tukang becak, sopir, pedagang pasar, pengumpul barang bekas, hingga pedagang sayur keliling di pemukiman penduduk, merupakan pekerjaan yang didominasi etnis yang terkenal beretos kerja luar biasa ini.

Interaksiku tergolong cukup dekat dengan kelompok etnis ini. Maklum saja, di semua tempatku bermukim sedari kecil, selalu saja berdekatan dengan getho-nya atau kalau orang kampungku bilang lubok-nye pendatang Madura. Sedari diriku lahir hingga akhir sekolah menengah pertama, keluargaku bermukim di Asrama Hidayat, yang tepat bertetangga dengan Gang Candi Agung di Jalan Tani (sekarang lebih dikenal sebagai Jalan Putri Dara Hitam). Setelah itu hingga saat ini, rumah orang tuaku berada di Jalan Danau Sentarum di kawasan Sumur Bor, yang juga telah sejak berhenti operasinya perkebunan karet milik Belanda diawal kemerdekaan menjadi kawasan pemukiman kelompok pendatang Madura dari Bangkalan.

Nah, saat remajaku di Sumur Bor ini intensitas pergaulanku dengan masyarakat pendatang dari pulau penghasil garam ini dapat dikatakan sangatlah erat. Wajarlah karena di gangku saat itu hanya dua keluarga saja yang beretnis selain Madura. Walaupun tak fasih melafaskannya, namun dapatlah dikatakan sangat baik aku dalam memahami bahasa etnis ini. Hari-hariku dulu seringkali dihabiskan untuk menemani teman-teman sebaya ngaret (menyabit dengan menggunakan arit) rumput untuk sapi peliharaan keluarga mereka. Saat itu hampir semua keluarga Madura yang bermukim di sekitar rumahku menjadi pemelihara sapi potong, baik sapi yang mereka miliki sendiri maupun sapi titipan orang lain untuk mereka pelihara. Sapi-sapi muda didatangkan dari Jawa atau Madura dengan menggunakan kapal kayu, untuk selanjutnya dipelihara hingga siap potong oleh peternak di sekitar Pontianak. Barulah kemudian sapi-sapi siap potong itu dibawa ke daerah-daerah di pedalaman Kalbar untuk dikonsumsi. Nah, begitulah supply chain dari sapi potong di Kalbar pada masa itu dan posisi penting para peternak sapi di sekitar rumahku dalam supply chain tersebut.

Merupakan pemandangan yang jamak saat itu melihat rombongan para pengarit rumput mengangkut karung-karung berisi rumput dengan menggunakan sepeda jengki. Istilah yang populer pada waktu itu untuk rombongan ini adalah bongar atau bocah ngaret.
Kelompok bongar ini dulu amat mudah ditemui saat pagi ataupun sore hari, yang merupakan saat-saat mereka berburu rumput, di sekitar kota baru, sumur bor, sepakat hingga ke arah pal.

Namun kini, kuperhatikan tak lagi banyak terlihat. Usaha pemeliharaan sapi tampaknya sudah tak lah terlampau menguntungkan dan tak menarik untuk diusahakan. Selain karena tuntutan pertumbuhan kota, mengakibatkan banyak areal berumput yang telah berubah fungsi menjadi pemukiman. Sehingga mereka kesulitan mencari pasok pakan bagi ternak tersebut.
Kuperhatikan, banyak teman-temanku dulu yang setiap pagi dan sore menghabiskan waktunya buat mengarit, kini tak tampak lagi memelihara sapi. Mereka kini lebih memilih menjadi buruh bangunan atau kerja di sektor informal lainnya. Jadi, bisalah diduga kemudian, jika semakin hari para rombongan bongar akan semakin jarang terlihat penampakannya. Yah, mudah-mudahan transformasi ini menjadi lebih baik.

Sunday, December 14, 2008

Gaya Rambut Dwifungsi

Agak lebat hujan siang itu melanda Tarutung, tempat kubekerja hampir satu tahun terakhir. Ah, tiba-tiba saja bosan mendatangiku yang sedari pagi hanya terpaku di depan komputer. Tak sengaja terpegang rambutku, sudah cukup panjang rasanya. Maklum saja, sejak terasa cukup banyak rambut yang gugur kala bangun pagi ataupun mandi beberapa tahun belakangan, lebih senang aku memangkasnya cepak. Hitung-hitung penghematan juga buat beli sampo.

Berniat mengusir jenuh itu, kusempatkan diri untuk bercukur. Pilihanku jatuh ke sebuah rumah pangkas sederhana yang terletak hanya 10 pintu dari kantorku. Sudah cukup lama rasanya aku tak bercukur di kios cukur sejenis. Akhir-akhir ini aku lebih sering bercukur di salon frenchise di pusat perbelanjaan, seperti: Johni Andrean, Rudi Hadi Suwarno, Lutuye dll. Bukan kenapa, bercukur di salon jenis franchise ini lebih praktis buatku sekarang. Selain mudah dijumpai di pusat perbelanjaan, layanan dengan sekalian cuci rambut juga mempermudahku karena tak harus bergatal-gatal ria akibat sisa rambut.

Peralatan, lay out ruang dengan kaca-kaca lebar di dua sisi, kursi cukur yang diatur manual dan tampang tukang cukur yang klimis, mengingatkanku tempat cukur langganan di masa kecil di kota kelahiranku.

Saat-saat diajak papaku bercukur dulu merupakan agenda rutin bulanan yang selalu kutunggu dan sekaligus kukhawatir. Kutunggu, karena biasanya sehabis itu, kami pasti mampir ke tempat makan istimewa atau sekurangnya membeli goreng pisang atau roti tawar buat mama dan kakakku yang tidak turut serta. Sementara khawatir, karena pasti hasil pangkasnya tak seperti yang kuharapkan.

Sebuah kios cukur di sekitar Kawasan Kapuas Indah, terminal utama angkutan kota atau oplet di Pontianak pada masa itu, merupakan tempat favorit yang akan kami kunjungi untuk melakukan ritual ini. Kawasan Kapuas Indah pada masa itu luar biasa ramainya. Maklum oplet ke seluruh tujuan akan berhenti di sana, apalah lagi jenis transportasi ini masih menjadi primadona. Selain pada masa itu penyeberangan feri, yang pelabuhannya terletak berdekatan dengan kawasan ini, masih sangat vital menjadi penghubung dua bagian kota yang dibelah Sungai Kapuas. Kapuas Indah Plaza pun masih menjadi pusat perbelanjaan utama di kotaku. Tidak seperti saat ini, yang bak kerakap, hidup segan namun matipun tak jua mau. Kawasan ini kini menjadi kawasan yang cukup kumuh dan mengkhawatirkan keamanannya. Padahal dulu, bayangkan saja, saat pertama kali dibuka, tangga berjalan plaza yang merupakan yang pertama di Kalimantan Barat ini, hanya beroperasi tidak lebih dari 2 minggu. Tangga berjalan ini rusak akibat kelebihan penumpang. Ribuan orang dari penjuru kota dan daerah lain di Kalbar antusias mengunjunginya.

Kekhawatiranku saat bercukur sebenarnya ungkapan yang terlampau optimis. Setiap ritual bercukur tiba, asaku selalu kulambungkan, yakni bisa menentukan sendiri model rambutku. Padahal, asaku itu taklah akan pernah terjadi. Maklum saja karena profesinya sebagai seorang tentara, papaku selalu menentukan jenis pangkas buatku. Modelnya pun selalu tetap, yakni model 3-2-1, maksudnya 3 di bagian muka, 2 di bagian samping dan satu di bagian belakang. Selalu saja proposalku untuk mengganti model lain tak akan digubris papaku. Hal ini tak hanya terjadi pada diriku saja, hampir semua teman-temanku di Tangsi Militer (Asrama Hidayat di Sungai Bangkong) tempatku tinggal mengalami hal serupa. Kami hanya dapat berkeluh kesah bersama-sama dan mengerutu meratapi perlakuan orang tua kami itu.

Aku dan teman-teman masa kecilku di Tangsi Militer menjuluki model ini sebagai model Dwifungsi, seperti dokrin militer yang populer diindokrinasikan oleh rezim Suharto saat itu. Karena bagian depan bisa dipergunakan sebagai kuas dan bagian belakang bermanfaat untuk jadi parutan. Jika ada teman yang sedang jadi korban model ini, kami akan sama-sama mentertawainya. Sebaliknya, jika sedang menjadi korban, hanya cengiran kesal lah yang bisa diperbuat. Itulah nasib menjadi anak kolong.

Seingatku aku baru terbebas dari model ini saat sudah di bangku SLTA, itupun karena ada teman sekolah yang piawai mencukur. Jadi bisa dimintakan tolong untuk mencukurkan rambutku. Senang sekali rasanya waktu pertama kali bisa terbebas dari model rambut ini.

Tiba-tiba saja terlintas dipikirku, bagaimana nasib anak-anak militer sekarang, apakah mereka masih mengalami nasib yang sama dengan kami dulu. Mudah-mudahan saja tidak dan pendapat ataupun keinginan mereka sudah dapat diakomodasi oleh para orang tua mereka. Masak sih, dwifungsi ABRI saja dapat direposisi, sementara model rambut dwifungsi tidak.

Saturday, October 11, 2008

Sekolah Dasar Muhammadiyah Dua di Sentiong

Antian panjang memenuhi loket penjualan tiket masuk bioskop Premium di Detos (Depok Town Square) pada hari-hari akhir Ramadan tahun ini. Pemutan perdana film Laskar Pelangi yang diinterpretasikan dari sebuah buku popular yang berjudul sama, merupakan penyebabnya. Padahal, pemutaran perdana ini dilakukan serentak di seluruh Nusantara pada dua jaringan bioskop utama, yakni Premium dan Studio 21. Antusiasme penonton tetap saja sangat luar biasa, entah penggemar sejati Andrea Hirata, sang pengarang buku, atau mereka yang hanya sekedar takut dikatakan kurang gaul, semua tumplek menyambangi bioskop untuk menontonnya. Wajar, jika beberapa waktu kemudian, sebuah media nasional melaporkan dalam kurang dari sebulan, film ini sudah mampu menyerap 1.5 juta penonton. Saat giat-giatnya film ini melakukan promosi beberapa waktu sebelum penanyangan perdana, aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Terpengaruh ingin melihat sejauh mana Riri Reza, sang sutradara, menginterpertasikan pengalaman si penulis yang sangat menginspirasi ini, tak mampu membendung keinginanku menontonnya di hari pemutaran perdana itu. Aku dan istriku beruntung karena masih mendapatkan tiket untuk pemutaran yang hanya berselisih 30 menit dari kehadiran kami ke pusat perbelanjaan itu, dan akan berakhir menjelang buka puasa. Lumayan, hitung-hitung ngabuburit lah, menantikan buka puasa tiba.

Cukup terkesan aku dengan para sinease yang bekerja menggarap film ini. Acungan jempol adalah sebuah yang wajar disampaikan pada mereka. Kekhawatiranku, pesan-pesan yang ada dalam buku itu tidak mampu tersampaikan ternyata tak terjadi. Lega rasanya, karena rasa kecewa seperti saat menonton film Gie, yang digarap oleh sutradara yang sama, tidak terjadi.

Sehabis menonton film ini, aku mengingat kembali sekolah dasarku dulu di kampung halaman. Bukan hanya karena sekolahku pun memiliki nama yang serupa dengan sekolah di film itu, yakni SD Muhammadiyah, namun adanya kesamaan lain yang bisa kutarik, jadi pembelajaran guna memajukan pendidikan di negeri ini. Memang banyak yang tak serupa dengan cerita film ini, tapi setidaknya ada sebuah semangat yang sama yakni semangat para guruku dahulu yang tak kalah hebatnya dengan Ibu Maemonah Muslihah dan pamannya dalam film itu, dalam menghadirkan pendidikan yang berkualitas pada kami para muridnya.

Di akhir 1970-an, hampir dapat dikatakan di kampung halamanku, Pontianak, pendidikan dasar sangat didominasi oleh lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan katolik dan kristen. Sekolah-sekolah seperti SD Imanuel, SD Karya Yosef, SD Gembala Baik, SD Budi Baik, SD Susteran dan SD Bruderan menjadi sekolah favorit. Hampir semua perlombaan di tingkat SD pada waktu itu didominasi oleh sekolah-sekolah tersebut. Memang ada beberapa sekolah negeri yang cukup mampu mencuri perhatian, seperti: SD 1 di belakang Gedung Arena Remaja, SD 3 di Gang Padi, SD 26 di Jalan Tamar ataupun SD 29 di Jalan Podomoro. Sementara sekolah-sekolah berbasis yayasan islam agak kurang diminati, banyak keluarga yang berlatar belakang islam yang memilih menyekolahkan anaknya ke persekolahan yang dikelola yayasan non islam, demi untuk memberikan pendidikan yang terbaik buat si anak. Hal ini juga terjadi pada ayahku, yang kurang menanggapi saat ditawari oleh seorang temannya untuk menyekolahku ke SD Muhammadiyah 2, sekolah yang kemudian menjadi tempatku memperoleh pendidikan dasar. Pikiran ayahku berubah ketika di hari-hari terakhir sebelum pendaftaran SD berakhir, ia bertemu dengan almarhum Pak Burhan, kepala sekolah sekolahku pada waktu itu, di mesjid dekat rumah kami. Beliaulah yang mempertebal keyakinan ayahku untuk merelakan aku bersekolah ke SD tersebut, yang baru memiliki 3 angkatan, yang secara kualitas masihlah belum terjamin dan butuh diuji.

Dua tahun pertama sekolahku yang berlokasi di Sentiong, sebuah kawasan yang belum dikembangkan di kota Pontianak pada waktu itu, hanya memiliki empat lokal kelas. Pak Burhan yang merupakan guru paling senior di sekolah ini, seingatku termasuk kelompok alumni sekolah guru di Sumatera Barat yang dikirim ke Kalimantan untuk mensyiarkan pendidikan dan bertahan menjadi guru di pulau ini hingga akhir hayatnya. Pada masa-masa awal, beliau masih dibantu oleh beberapa guru-guru muda, yang beberapa adalah baru menyelesaikan SPG (sekolah pendidikan guru), SGO (sekolah guru olahraga) ataupun PGA (pendidikan guru agama), dan sembari mengambil kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Tanjungpura, seperti: Pak Waslie Syafi’e, Pak Wahaini, Bu Siti, dan Bu Zulfa. Sebagian besar mereka adalah guru berstatus pegawai negeri yang diperbantukan ke sekolahku. Pada masa ini, uang sekolahnya masih sangat rendah dan beberapa kawan sekelasku menjalani pendidikan secara gratis, karena mereka adalah penghuni Panti Asuhan ‘Ahmad Yani’ yang terletak dekat dengan sekolah tersebut.

Sekolahku cukup beruntung, karena pada kurun waktu yang bersamaan, kawasan dimana sekolah ini berada mengalami pembangunan. Beberapa fasilitas penting pemerintahan di bangun di sekitarnya, seperti: Mesjid Raya Mujahidin, komplek pemukiman pegawai pemerintah provinsi Kalimantan Barat, dll. Dalam waktu yang cepat, dari kawasan yang dahulu sering diistilahkan ‘tempat jin buang anak’ (wajar karena kawasan ini dahulunya adalah kompleks pekuburan Cina atau Sentiong dan dari situlah namanya berasal) berubah menjadi kawasan elit. Imbasnya, sekolahku kemudian pun banyak pula memperoleh tambahan murid-murid baru yang pindah dari sekolah lainnya. Semakin banyaknya kelas dan murid yang harus diajar, di masa aku berada di kelas 3 atau 4, sekolahku merekrut beberapa guru tambahan, yang juga seperti sebelumnya masih berstatus mahasiswa, seperti: Pak Suprianto Agus, Pak Hatta, Pak Adnan M. Zain, dan guru senior yang diperbantukan, seperti: Pak Was’ie. Tumpuk pimpinan sekolah juga kemudian berganti, seiring dengan menurunnya kesehatan Pak Burhan, kepada Pak Waslie Syafi’e.

Para guruku itu memberi pengajaran dengan sepenuh hati mereka pada kami. Padahal, sebagai guru yang juga mahasiswa, tentunya tekanan ekonomi dan pekerjaan amatlah berat mereka rasakan. Di masa itu, hampir semua guruku pergi mengajar dengan menggunakan sepeda. Angkutan kota yang masih jarang tentunya tidak memadai untuk mobilitas mereka pada waktu itu. Jika pun ada yang sudah memiliki sepeda motor, sepeda motor yang mereka gunakan adalah sepeda motor yang sudah berumur. Belum jamak pada masa itu, keberadaan lembaga-lembaga pemberi tambahan belajar pada para siswa, seperti yang saat ini menjamur. Beberapa teman yang kurang bisa mengikuti pembelajaran di kelas, sering diberikan bimbingan pengajaran seusai sekolah oleh para guruku. Tentunya tetap dengan tanpa dipungut biaya. Keinginan memberikan pendidikan terbaik pada kami para muridnya, menjadi motivasi khusus pada kami untuk belajar dengan sebaik-baiknya. Rasa kekeluargaan di antara kami pun sangat erat. Sering kali dilakukan pertemuan keakraban di rumah kontrakan salah seorang guru kami, yang biasanya sembari menikmati hidangan bubur padas, makanan khas Melayu Sambas.

Mimpi menjadi yang terbaik bukanlah mimpi para pengajar semata, para pelajar pun mempunyai keinginan yang serupa. Hingga saat ini masih sering terngiang ditelingaku, sebuah tantangan yang berulang-ulang kali diucapkan oleh Pak Burhan ataupun Pak Waslie saat upacara bendera atau kesempatan lainnya kepada kami para muridnya di generasi awal, “Mari kita tunjukkan bahwa sekolah Muhammadiyah ini adalah sekolah terbaik dan murid-murid di sekolah ini mampu menunjukkan kualitasnya sebagai murid dari sekolah yang terbaik dan menjadi suritauladan bagi orang lain.” Tantangan ini selalu memotivasi para muridnya, untuk merajai perlombaan-perlombaan pendidikan antar sekolah yang kami ikuti. Sudah bukan rahasia umum, jika pada rentang 1980 hingga 1990-an, lomba-lomba bidang studi dan cerdas cermat di tingkat daerah selalu dirajai oleh wakil dari sekolahku. Bahkan pada 1987, sekolahku menjadi juara cerdas cermat nasional yang disiarkan oleh TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu. Pada era itu pun, selalu tertera nama murid dari sekolah ini yang berprestasi memperoleh nilai tertinggi untuk bidang studi tertentu maupun keseluruhan dari evaluasi akhir siswa setiap tahunnya.

Sayangnya, laiknya sebuah komoditas di pasar, untuk memperoleh kualitas yang bagus dan menjanjikan, pengorbanan atau biaya yang diberikan juga harus setimpal besarnya. Kemudian sekolahku pun mulai berubah menjadi sekolah bagi kelompok elit semata. Uang sekolah dan pendaftaran melambung tinggi, menjadi penapis awal bagi siapa yang berhak memperoleh jasa pendidikan di sekolah tersebut. Belum lagi pembebanan kurikulum yang berat dan keinginan mempertahankan image-nya, membuat sekolah itu tampak seperti mesin yang bekerja terus di waktu produksinya. Pagi hingga siang untuk pengajaran biasa dan sore hingga malam untuk pengajaran tambahan (hmmm.... untunglah aku tidak berada di generasi itu, kalo tidak tentunya kehidupan menjadi anak kampongku pun tidaklah banyak..). Pun, pembangunan infrastruktur sekolah mulai pula dibangun perlahan-lahan, hingga menjadi teramat megah dan terkesan tak ramah lagi akhir 1990-an.

Kini, dengan hadirnya beberapa sekolah waralaba nasional, seperti: Al Azhar, ataupun sekolah berkurikulum internasional, seperti: Bina Mulia dan Tunas Bangsa, kabarnya sekolahku berangsur-angsur menurun peminatnya. Sekolah-sekolah itu hadir dengan menawarkan fasilitas yang jauh lebih baik dan adopsi kurikulum internasional yang lebih menjanjikan. Nama besar dan prestasi hebat di masa lalu sekolahku, rupanya tak mampu menjadi menambat hati para orang tua murid untuk menjadikannya pilihan utama buat si anak. Hematku, kenapa tidak kembali lagi ke basis awal di masa awal berdirinya, yang dengan segala keterbatasan mampu menjadi lembaga pendidikan terbaik, dimana modal utamanya adalah kesadaran bersama untuk menjadi yang terbaik!