Saturday, October 11, 2008

Sekolah Dasar Muhammadiyah Dua di Sentiong

Antian panjang memenuhi loket penjualan tiket masuk bioskop Premium di Detos (Depok Town Square) pada hari-hari akhir Ramadan tahun ini. Pemutan perdana film Laskar Pelangi yang diinterpretasikan dari sebuah buku popular yang berjudul sama, merupakan penyebabnya. Padahal, pemutaran perdana ini dilakukan serentak di seluruh Nusantara pada dua jaringan bioskop utama, yakni Premium dan Studio 21. Antusiasme penonton tetap saja sangat luar biasa, entah penggemar sejati Andrea Hirata, sang pengarang buku, atau mereka yang hanya sekedar takut dikatakan kurang gaul, semua tumplek menyambangi bioskop untuk menontonnya. Wajar, jika beberapa waktu kemudian, sebuah media nasional melaporkan dalam kurang dari sebulan, film ini sudah mampu menyerap 1.5 juta penonton. Saat giat-giatnya film ini melakukan promosi beberapa waktu sebelum penanyangan perdana, aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Terpengaruh ingin melihat sejauh mana Riri Reza, sang sutradara, menginterpertasikan pengalaman si penulis yang sangat menginspirasi ini, tak mampu membendung keinginanku menontonnya di hari pemutaran perdana itu. Aku dan istriku beruntung karena masih mendapatkan tiket untuk pemutaran yang hanya berselisih 30 menit dari kehadiran kami ke pusat perbelanjaan itu, dan akan berakhir menjelang buka puasa. Lumayan, hitung-hitung ngabuburit lah, menantikan buka puasa tiba.

Cukup terkesan aku dengan para sinease yang bekerja menggarap film ini. Acungan jempol adalah sebuah yang wajar disampaikan pada mereka. Kekhawatiranku, pesan-pesan yang ada dalam buku itu tidak mampu tersampaikan ternyata tak terjadi. Lega rasanya, karena rasa kecewa seperti saat menonton film Gie, yang digarap oleh sutradara yang sama, tidak terjadi.

Sehabis menonton film ini, aku mengingat kembali sekolah dasarku dulu di kampung halaman. Bukan hanya karena sekolahku pun memiliki nama yang serupa dengan sekolah di film itu, yakni SD Muhammadiyah, namun adanya kesamaan lain yang bisa kutarik, jadi pembelajaran guna memajukan pendidikan di negeri ini. Memang banyak yang tak serupa dengan cerita film ini, tapi setidaknya ada sebuah semangat yang sama yakni semangat para guruku dahulu yang tak kalah hebatnya dengan Ibu Maemonah Muslihah dan pamannya dalam film itu, dalam menghadirkan pendidikan yang berkualitas pada kami para muridnya.

Di akhir 1970-an, hampir dapat dikatakan di kampung halamanku, Pontianak, pendidikan dasar sangat didominasi oleh lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan katolik dan kristen. Sekolah-sekolah seperti SD Imanuel, SD Karya Yosef, SD Gembala Baik, SD Budi Baik, SD Susteran dan SD Bruderan menjadi sekolah favorit. Hampir semua perlombaan di tingkat SD pada waktu itu didominasi oleh sekolah-sekolah tersebut. Memang ada beberapa sekolah negeri yang cukup mampu mencuri perhatian, seperti: SD 1 di belakang Gedung Arena Remaja, SD 3 di Gang Padi, SD 26 di Jalan Tamar ataupun SD 29 di Jalan Podomoro. Sementara sekolah-sekolah berbasis yayasan islam agak kurang diminati, banyak keluarga yang berlatar belakang islam yang memilih menyekolahkan anaknya ke persekolahan yang dikelola yayasan non islam, demi untuk memberikan pendidikan yang terbaik buat si anak. Hal ini juga terjadi pada ayahku, yang kurang menanggapi saat ditawari oleh seorang temannya untuk menyekolahku ke SD Muhammadiyah 2, sekolah yang kemudian menjadi tempatku memperoleh pendidikan dasar. Pikiran ayahku berubah ketika di hari-hari terakhir sebelum pendaftaran SD berakhir, ia bertemu dengan almarhum Pak Burhan, kepala sekolah sekolahku pada waktu itu, di mesjid dekat rumah kami. Beliaulah yang mempertebal keyakinan ayahku untuk merelakan aku bersekolah ke SD tersebut, yang baru memiliki 3 angkatan, yang secara kualitas masihlah belum terjamin dan butuh diuji.

Dua tahun pertama sekolahku yang berlokasi di Sentiong, sebuah kawasan yang belum dikembangkan di kota Pontianak pada waktu itu, hanya memiliki empat lokal kelas. Pak Burhan yang merupakan guru paling senior di sekolah ini, seingatku termasuk kelompok alumni sekolah guru di Sumatera Barat yang dikirim ke Kalimantan untuk mensyiarkan pendidikan dan bertahan menjadi guru di pulau ini hingga akhir hayatnya. Pada masa-masa awal, beliau masih dibantu oleh beberapa guru-guru muda, yang beberapa adalah baru menyelesaikan SPG (sekolah pendidikan guru), SGO (sekolah guru olahraga) ataupun PGA (pendidikan guru agama), dan sembari mengambil kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Tanjungpura, seperti: Pak Waslie Syafi’e, Pak Wahaini, Bu Siti, dan Bu Zulfa. Sebagian besar mereka adalah guru berstatus pegawai negeri yang diperbantukan ke sekolahku. Pada masa ini, uang sekolahnya masih sangat rendah dan beberapa kawan sekelasku menjalani pendidikan secara gratis, karena mereka adalah penghuni Panti Asuhan ‘Ahmad Yani’ yang terletak dekat dengan sekolah tersebut.

Sekolahku cukup beruntung, karena pada kurun waktu yang bersamaan, kawasan dimana sekolah ini berada mengalami pembangunan. Beberapa fasilitas penting pemerintahan di bangun di sekitarnya, seperti: Mesjid Raya Mujahidin, komplek pemukiman pegawai pemerintah provinsi Kalimantan Barat, dll. Dalam waktu yang cepat, dari kawasan yang dahulu sering diistilahkan ‘tempat jin buang anak’ (wajar karena kawasan ini dahulunya adalah kompleks pekuburan Cina atau Sentiong dan dari situlah namanya berasal) berubah menjadi kawasan elit. Imbasnya, sekolahku kemudian pun banyak pula memperoleh tambahan murid-murid baru yang pindah dari sekolah lainnya. Semakin banyaknya kelas dan murid yang harus diajar, di masa aku berada di kelas 3 atau 4, sekolahku merekrut beberapa guru tambahan, yang juga seperti sebelumnya masih berstatus mahasiswa, seperti: Pak Suprianto Agus, Pak Hatta, Pak Adnan M. Zain, dan guru senior yang diperbantukan, seperti: Pak Was’ie. Tumpuk pimpinan sekolah juga kemudian berganti, seiring dengan menurunnya kesehatan Pak Burhan, kepada Pak Waslie Syafi’e.

Para guruku itu memberi pengajaran dengan sepenuh hati mereka pada kami. Padahal, sebagai guru yang juga mahasiswa, tentunya tekanan ekonomi dan pekerjaan amatlah berat mereka rasakan. Di masa itu, hampir semua guruku pergi mengajar dengan menggunakan sepeda. Angkutan kota yang masih jarang tentunya tidak memadai untuk mobilitas mereka pada waktu itu. Jika pun ada yang sudah memiliki sepeda motor, sepeda motor yang mereka gunakan adalah sepeda motor yang sudah berumur. Belum jamak pada masa itu, keberadaan lembaga-lembaga pemberi tambahan belajar pada para siswa, seperti yang saat ini menjamur. Beberapa teman yang kurang bisa mengikuti pembelajaran di kelas, sering diberikan bimbingan pengajaran seusai sekolah oleh para guruku. Tentunya tetap dengan tanpa dipungut biaya. Keinginan memberikan pendidikan terbaik pada kami para muridnya, menjadi motivasi khusus pada kami untuk belajar dengan sebaik-baiknya. Rasa kekeluargaan di antara kami pun sangat erat. Sering kali dilakukan pertemuan keakraban di rumah kontrakan salah seorang guru kami, yang biasanya sembari menikmati hidangan bubur padas, makanan khas Melayu Sambas.

Mimpi menjadi yang terbaik bukanlah mimpi para pengajar semata, para pelajar pun mempunyai keinginan yang serupa. Hingga saat ini masih sering terngiang ditelingaku, sebuah tantangan yang berulang-ulang kali diucapkan oleh Pak Burhan ataupun Pak Waslie saat upacara bendera atau kesempatan lainnya kepada kami para muridnya di generasi awal, “Mari kita tunjukkan bahwa sekolah Muhammadiyah ini adalah sekolah terbaik dan murid-murid di sekolah ini mampu menunjukkan kualitasnya sebagai murid dari sekolah yang terbaik dan menjadi suritauladan bagi orang lain.” Tantangan ini selalu memotivasi para muridnya, untuk merajai perlombaan-perlombaan pendidikan antar sekolah yang kami ikuti. Sudah bukan rahasia umum, jika pada rentang 1980 hingga 1990-an, lomba-lomba bidang studi dan cerdas cermat di tingkat daerah selalu dirajai oleh wakil dari sekolahku. Bahkan pada 1987, sekolahku menjadi juara cerdas cermat nasional yang disiarkan oleh TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu. Pada era itu pun, selalu tertera nama murid dari sekolah ini yang berprestasi memperoleh nilai tertinggi untuk bidang studi tertentu maupun keseluruhan dari evaluasi akhir siswa setiap tahunnya.

Sayangnya, laiknya sebuah komoditas di pasar, untuk memperoleh kualitas yang bagus dan menjanjikan, pengorbanan atau biaya yang diberikan juga harus setimpal besarnya. Kemudian sekolahku pun mulai berubah menjadi sekolah bagi kelompok elit semata. Uang sekolah dan pendaftaran melambung tinggi, menjadi penapis awal bagi siapa yang berhak memperoleh jasa pendidikan di sekolah tersebut. Belum lagi pembebanan kurikulum yang berat dan keinginan mempertahankan image-nya, membuat sekolah itu tampak seperti mesin yang bekerja terus di waktu produksinya. Pagi hingga siang untuk pengajaran biasa dan sore hingga malam untuk pengajaran tambahan (hmmm.... untunglah aku tidak berada di generasi itu, kalo tidak tentunya kehidupan menjadi anak kampongku pun tidaklah banyak..). Pun, pembangunan infrastruktur sekolah mulai pula dibangun perlahan-lahan, hingga menjadi teramat megah dan terkesan tak ramah lagi akhir 1990-an.

Kini, dengan hadirnya beberapa sekolah waralaba nasional, seperti: Al Azhar, ataupun sekolah berkurikulum internasional, seperti: Bina Mulia dan Tunas Bangsa, kabarnya sekolahku berangsur-angsur menurun peminatnya. Sekolah-sekolah itu hadir dengan menawarkan fasilitas yang jauh lebih baik dan adopsi kurikulum internasional yang lebih menjanjikan. Nama besar dan prestasi hebat di masa lalu sekolahku, rupanya tak mampu menjadi menambat hati para orang tua murid untuk menjadikannya pilihan utama buat si anak. Hematku, kenapa tidak kembali lagi ke basis awal di masa awal berdirinya, yang dengan segala keterbatasan mampu menjadi lembaga pendidikan terbaik, dimana modal utamanya adalah kesadaran bersama untuk menjadi yang terbaik!