Friday, September 11, 2009

Keriang Bandong

Ramadhan sudah memasuki sepertiga akhirnya. Bulan penuh berkah dan rahmat ini perlahan akan segera berganti ke bulan Syawal yang melambangkan kembali pada kesucian hakiki. Kerap diriwayatkan oleh para pensyiar, sepertiga akhir ini sejatinya merupakan waktu di mana berkah dilimpahkan, bahkan di salah satu malam ganjilnya, dikhabarkan merupakan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Masa-masa ini adalah masa yang dinanti oleh banyak orang untuk bertafakur ke hadapan Sang Khaliq.

Pun, dulu pada masa kecilku masa ini juga merupakan masa yang kunantikan. Ada sebuah tradisi yang ganjil rasanya, jika tak kami tunaikan di penghujung puasa ini. Tradisi ini sangat erat hubungannya dengan cara menyambut malam lailatul qadar. Beberapa kelompok masyarakat percaya bahwa agar para malaikat berkenan mencatat amal perbuatan kita di malam itu, maka sebaiknya rumah kita dilengkapi penerangan di sekitar rumah dalam menyambut malam agung itu. Maka tak jarang tradisi memasang penerang pun banyak kita jumpai di penjuru nusantara ini.

Di kampongku tercinta, Pontianak, tradisi serupa lebih dikenal melalui pembuatan dan pemasang keriang bandong di sekitar rumah. Keriang bandong adalah semacam lampion dengan penerang lilin di dalamnya. Rangkanya berasal dari rautan buluh (bambu) yang dilapisi kertas minyak, baik yang hanya didominasi satu warna ataupun berwarna-warni. Di zamanku, bentuk keriang bandong yang banyak dibuat seingatku berbentuk limas, rumah, mobil sederhana, ikan, pesawat ataupun burung. Kesederhanaan bentuk kurasa menjadikannya penyebab kenapa desain-desain ini yang paling banyak dibuat. Maklum saja, karena yang membuatnya sebagian besar adalah anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Aktivitas pembuatannya pun sekedar kegiatan mengisi waktu sembari menanti saat berbuka tiba.

Kuduga tradisi ini erat pengaruhnya dari tradisi yang dibawa oleh pemukim Cina di kampongku, yang juga mengenal permainan ini sebagai tanglong. Namun, entah dari mana istilah keriang bandong ini berasal. Menurut Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kota Pontianak H Syafruddin IB (dalam http://efprizan.blogspot.com), ia menerka, “Keriang kan nama binatang yang mengeluarkan bunyi khas di malam hari. Keriang suka dengan cahaya dan datang berbondong-bondong. Mungkin dari situlah namanya diambil, jadi keriang bandong”. Aku sendiri menduga, bungkusnya yang menggunakan kertas minyak itu, membuat permainan ini menyerupai keriang, sejenis kumbang berwarna hijau yang memiliki sayap transparan dan sering mengeluarkan bunyi di malam hari. Serangga yang digolongkan ke dalam ordo Hemiptera dan sub ordo Cicadomorpha ini, dalam bahasa Indonesia lebih dikenal sebagai tenggoret atau cicada dalam bahasa Inggrisnya. Sementara bandong sendiri mungkin berasal dari kebiasaan orang memasang aksesoris ini di pinggir parit dan menyerupai kapal bandong (klotok) yang sedang tambat (menepi) di pinggir sungai di malam hari.

Di masa itu, sehabis shalat taraweh, sering kali kami mengarak keriang bandong kami keliling kampung dan beberapa di antaranya ada yang mengadu kekuatan keriang bandongnya. Rusak, patah dan terbakarnya keriang bandong kami adalah resiko yang akan kami peroleh dalam aduan ini. Sembari mencari lawan aduan, biasanya beberapa anak membawa keriang bandong berjalan berarakan. Dalam arak-arakan kami itu, ada sebuah lagu yang khas kami nyanyikan berulang-ulang, yaitu: “Hee...Mantoyo, Mane Musoh, Agogo.” Sehabis arak-arakan, bisanya, kami akan mengembalikan keriang bandong kami ke tempatnya, yakni di pinggir parit yang ada di depan rumah atau di depan pagar masuk rumah kami masing-masing.

Permainan ini dapat berlangsung berjam-jam hingga menapaki tengah malam. Akibatnya, saat pulang ke rumah, omelan lah yang akan menanti. Apalah lagi, saat-saat ini adalah juga saat genting bagi para ibu kami. Ritual membuat kue lebaran, pastinya membutuhkan tenaga tambahan. Sudah juga tradisi, jika masa-masa ini para ibu kerap absen di mesjid dalam bertaraweh diakibatkan kesibukan membuat beragam kue, agar marwah keluarga tak turun di hadapan sanak keluarga di hari raya. Nah, anak-anak seperti kami dulu, pasti bermanfaat, dalam menambah tenaga bantuan. Setidaknya untuk mengoleskan kuning telur di atas kue yang akan dipanggang, memarut nanas untuk bahan nastar ataulah mengupas kacang yang akan digoreng kering dan jadi sajian khas lebaran. Di masa itu, ada saja cara yang aku dan teman-teman sebaya buat untuk tetap dapat bermain keriang bandong dan menghindari kewajiban turut membantu membuat kue. Sayangnya, kini tak lagi banyak kulihat anak-anak yang berkeliling kampong membawa keriang bandong. Lampu listrik kelap-kelip menyerupai lampu natal tampaknya di beberapa rumah sudah menggantikan fungsi keriang bandong ini. Namun, keriang bandong kini sudah naik kelas, karena sudah ada yang mulai memperjualbelikannya secara massif dan juga telah difestivalkan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home