Sunday, February 08, 2009

Ngaret

Libur yang cukup panjang di akhir tahun membuatku leluasa untuk pulang ke kampung halaman di Pontianak.Tak banyak yang berubah memang, namun bagiku ada sebuah sejarah baru yang patut dikenang. Sejarah itu adalah untuk pertama kalinya dilantik sepasangan pemimpin kota yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Uniknya, walaupun dapat dikatakan pasangan incumbent karena walikota terpilih adalah ex wakil walikota pada periode sebelumnya, sedangkan wakil walikota terpilih merupakan seorang yang beretnis Madura. Bagiku ini merupakan pengakuan politis akan eksistensi etnis yang sudah sedari dulu menjadi bagian dari masyarakat Kalimantan Barat.

Sedikit menyesal diriku karena tidak dapat hadir dalam acara pelantikan, padahal walaupun sudah selama 3 tahun terakhir berada di perantauan, ternyata aku masih dapat undangan resmi untuk mengikuti acara ini. Jika saja aku datang dua hari lebih awal tentunya bisa kuhadiri acara yang bersejarah tersebut.

Berdasarkan beberapa catatan para peneliti, masyarakat Madura sudah sejak awal abad ke-20 bermigrasi ke Kalimantan Barat. Umumnya mereka bekerja di sektor informal, yang tidak terlalu mempersyaratkan pendidikan tertentu. Mulai dari tukang becak, sopir, pedagang pasar, pengumpul barang bekas, hingga pedagang sayur keliling di pemukiman penduduk, merupakan pekerjaan yang didominasi etnis yang terkenal beretos kerja luar biasa ini.

Interaksiku tergolong cukup dekat dengan kelompok etnis ini. Maklum saja, di semua tempatku bermukim sedari kecil, selalu saja berdekatan dengan getho-nya atau kalau orang kampungku bilang lubok-nye pendatang Madura. Sedari diriku lahir hingga akhir sekolah menengah pertama, keluargaku bermukim di Asrama Hidayat, yang tepat bertetangga dengan Gang Candi Agung di Jalan Tani (sekarang lebih dikenal sebagai Jalan Putri Dara Hitam). Setelah itu hingga saat ini, rumah orang tuaku berada di Jalan Danau Sentarum di kawasan Sumur Bor, yang juga telah sejak berhenti operasinya perkebunan karet milik Belanda diawal kemerdekaan menjadi kawasan pemukiman kelompok pendatang Madura dari Bangkalan.

Nah, saat remajaku di Sumur Bor ini intensitas pergaulanku dengan masyarakat pendatang dari pulau penghasil garam ini dapat dikatakan sangatlah erat. Wajarlah karena di gangku saat itu hanya dua keluarga saja yang beretnis selain Madura. Walaupun tak fasih melafaskannya, namun dapatlah dikatakan sangat baik aku dalam memahami bahasa etnis ini. Hari-hariku dulu seringkali dihabiskan untuk menemani teman-teman sebaya ngaret (menyabit dengan menggunakan arit) rumput untuk sapi peliharaan keluarga mereka. Saat itu hampir semua keluarga Madura yang bermukim di sekitar rumahku menjadi pemelihara sapi potong, baik sapi yang mereka miliki sendiri maupun sapi titipan orang lain untuk mereka pelihara. Sapi-sapi muda didatangkan dari Jawa atau Madura dengan menggunakan kapal kayu, untuk selanjutnya dipelihara hingga siap potong oleh peternak di sekitar Pontianak. Barulah kemudian sapi-sapi siap potong itu dibawa ke daerah-daerah di pedalaman Kalbar untuk dikonsumsi. Nah, begitulah supply chain dari sapi potong di Kalbar pada masa itu dan posisi penting para peternak sapi di sekitar rumahku dalam supply chain tersebut.

Merupakan pemandangan yang jamak saat itu melihat rombongan para pengarit rumput mengangkut karung-karung berisi rumput dengan menggunakan sepeda jengki. Istilah yang populer pada waktu itu untuk rombongan ini adalah bongar atau bocah ngaret.
Kelompok bongar ini dulu amat mudah ditemui saat pagi ataupun sore hari, yang merupakan saat-saat mereka berburu rumput, di sekitar kota baru, sumur bor, sepakat hingga ke arah pal.

Namun kini, kuperhatikan tak lagi banyak terlihat. Usaha pemeliharaan sapi tampaknya sudah tak lah terlampau menguntungkan dan tak menarik untuk diusahakan. Selain karena tuntutan pertumbuhan kota, mengakibatkan banyak areal berumput yang telah berubah fungsi menjadi pemukiman. Sehingga mereka kesulitan mencari pasok pakan bagi ternak tersebut.
Kuperhatikan, banyak teman-temanku dulu yang setiap pagi dan sore menghabiskan waktunya buat mengarit, kini tak tampak lagi memelihara sapi. Mereka kini lebih memilih menjadi buruh bangunan atau kerja di sektor informal lainnya. Jadi, bisalah diduga kemudian, jika semakin hari para rombongan bongar akan semakin jarang terlihat penampakannya. Yah, mudah-mudahan transformasi ini menjadi lebih baik.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

percakburok.blogspot.com is very informative. The article is very professionally written. I enjoy reading percakburok.blogspot.com every day.
payday cash advances
online payday loan

5:52 PM  

Post a Comment

<< Home