Wednesday, January 10, 2007

Lanting

Tiga tahun yang lalu, tak lama setelah tahun baru, datang sebuah pesan singkat (sms) dari seorang teman lama sewaktu bersekolah di SMP. Isinya kira-kira menanyakan kabar dan mengundang aku untuk hadir pada diperesmian Café Lanting yang dimilikinya di Sambas. Walaupun tak sempat datang pada acara peresmiannya, aku menyempatkan mampir ke café yang terletak di badan Sungai Sambas di tengah Kota Sambas itu tak lama kemudian, saat berkunjung ke Santaban di perbatasan Indonesia-Malaysia. Tren membuat café di lanting tampaknya tak hanya dilakoni oleh temanku ini saja. Di Pontianak, beberapa tahun terakhir muncul café-café yang juga mencoba menggunakan lanting sebagai tempat berjualannya. Setidaknya kini dapat dijumpai di Banjar Serasan, Bansir dan Dalam Bugis. Bahkan kawasan café lanting di Banjar Serasan sekarang sudah menjadi salah satu sajian wisata khas Kota Pontianak, dimana pelancong bisa menikmati makanan khas Melayu Pontianak dan pemandangan panorama Sungai Kapuas.
Lanting sendiri sebenarnya bermakna bangunan terapung di atas sungai. Berkonstruksi kayu dan memiliki pelampung di bagian bawah bangunan. Kalau jaman dahulu, pelampung yang kerap digunakan adalah kayu bulat berukuran panjang. Namun saat ini, seiring semakin berkurangnya hutan, banyak orang yang mulai mengalihkannya dengan menggunakan drum besi ataupun drum plastik. Agar tidak berpindah dan terbawa arus air, lanting akan ditambatkan dengan menggunakan tali ke pinggiran sungai.
Di tahun 1980-an, hampir di sepanjang Sungai Kapuas di sekitar kota Pontianak, banyak kita temukan lanting ditambatkan. Banyak masyarakat yang menjadikan lanting sebagai tempat memasak, fasilitas MCK (mandi, cuci dan kakus) bahkan tak jarang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal ataupun tempat usaha. Memang terkesan tak beraturan, tapi terkadang bukankah keindahan terletak dari sebuah ketidakteraturan. Keberadaan lanting di atas sungai ini menjadi terlarang pada periode Majid Hasan sebagai Walikota dengan alih-alih penataan kota. Tak jelas, apakah pelarangan tersebut masih berlaku hingga saat ini.
Bagiku sendiri, lanting merupakan salah satu tempat bermain di waktu kecil. Biasanya, pada saat musim kemarau, aku dan teman sebayaku sering pergi ke lanting di belakang Pasar Kapuas Indah. Tujuannya tak lain adalah menangkap udang galah ataupun ikan lainnya yang kala itu masih dengan mudah ditangkap. Saat itu, kami pun belum lagi takut akan tercemarnya air dan ekosistem Kapuas (khabarnya, pencemaran merkury dan logam berat lainnya sudah cukup tinggi di sungai Kapuas!).
Kalau sebagian besar temanku menangkap udang dengan cara memancing, aku lebih memilih menggunakan jaring sembari berenang di sekitar lanting-lanting yang bersusunan. Entah mengapa, beberapa kali kucoba memancing, tak pernah sekalipun ikan atau udang yang kuperoleh. Kata teman-temanku, aku bukan tipe orang yang memiliki setumpuk kesabaran (mungkin istriku akan tersenyum saat membaca kalimat ini :-)), makanya pancingku tak akan bisa mendapatkan ikan ataupun udang.
Seingatku ada dua hal yang paling mengesalkan kami kala menangkap ikan atau udang, biasanya kami menyebutkan kejadian ini sebagai suwe (nasib buruk atau bad luck). Pertama, kalau pancing atau jaring yang dipergunakan tersangkut kayu atau sampah di bawah air. Mau tak mau, kami harus menyelam melepaskannya. Hal lainnya adalah jika pancing atau jaring kami menangkap ikan buntal (Tetraodon nigroviridis). Ikan berperut gendut dengan duri yang sangat beracun dipunggungnya ini, bukan ikan yang bisa dikonsumsi, bahkan dagingnya sangat beracun. Jadi tak ada guna menangkapnya dan untuk melepaskannya pun sangat sulit. Hampir tak percaya aku saat membaca sebuah artikel, ternyata di Jepang, ikan yang juga disebut ikan fugu ini bisa dikonsumsi, walaupun tak sembarangan orang yang dapat mengolahnya agar layak dikonsumsi.
Aktivitas memancing ataupun menjaring ini akan berakhir, jika hari sudah menjelang maghrib. Kami akan segera mengambil sepeda dan memacunya berlomba pulang ke rumah sambil menenteng udang atau ikan hasil tangkapan. Tentunya, saat sampai di rumah, kami akan segera membanggakan hasil tangkapan itu dan meminta orang tua kami mengolahnya menjadi tambahan sajian makan malam keluarga.

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Betul, bos! ikan buntal di daerah selatan dibikin sushi...dan tidak sembarangan koki yang bisa ngolahnya! Karena beracun, dan tidak semua orang bisa mengolahnya, makanya harganya juga mahal...

Eniwei, sekarang dimana nih, bos?
Aceh?? Salam...

6:54 AM  
Blogger Pahrian Siregar said...

Iya bos... Gimana sekarang udah di jepang atawa masih di gunung palung? Aku sekarang udah pensiun pulang-pergi ke Aceh.. hehehe.. Bermukim di Jakarta dan keliling seputaran, bogor, bandung dan yogakarta..

10:15 PM  
Anonymous Anonymous said...

posisi masih di jepun nih...insya Allah April 2008 kembali ke Ina. Waah, jadi ngiri nih, itu wilayah edar gw jg...jakarta-bogor-banten..
Gawe dimana lagi nih? kok keliatannya asik...

2:54 AM  

Post a Comment

<< Home