Sunday, May 07, 2006

Kapitol


Tak dinyana, pada sebuah warung kopi di Ulee Kareng, Banda Aceh, yang berpisah pulau dengan Pontianak, aku bercakap tentang kota itu. Anehnya lagi, kawan berbincangku, bukan lah orang Pontianak. Walaupun saat ini cukup banyak pekerja sosial dari Pontianak, yang mengais kehidupan di tanah yang terkena Tsunami ini, seperti halnya diriku.
Teman bicaraku ini seorang survivor dari bencana maha dahsyat itu, yang usianya kuperkirakan hampir mendekati 70-an tahun. Dulu, ia kerap ke Pontianak, karena pada masa era 1960 sampai 1970-an, ia bekerja sebagai awak kapal pada sebuah kapal nusantara yang rutin merapati Pelabuhan Sabang. Menurutnya, pada beberapa kali kesempatan, kapal dimana ia bekerja sempat merapat di Pontianak. Namun, sejak ’dimatikannya’ peran Sabang dalam pelayaran internasional, ia pun kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi nelayan. Ulee Lhe yang terletak di bagian pantai Kota Banda Aceh dipilihnya sebagai tempat bermukim.
Apakah Kapitol masih ada, demikian pertanyaan pertama yang diajukannya kepadaku, saat kami bercengkrama ditemani beberapa gelas sangger (sejenis kopi susu khas Aceh). Sejenak kutersentak dan mengingat-ingat apa yang dimaksudkan Kapitol oleh orang tua yang hampir sebagian besar keluarganya tersapu Tsunami ini. Hanya ada satu tempat bernama Kapitol di Pontianak yang ada dibenakku, yaitu nama sebuah bioskop yang berada di sekitar pasar tengah, yang kemudian sebelum tutup sempat berganti nama dengan Menara. Untuk meyakinkan kutanyakan kembali kepadanya, apakah Kapitol yang dimaksud adalah nama sebuah bioskop. Dengan anggukan pelan, ia mengiyakan pertanyaanku. Selanjutnya, kujelaskan padanya bahwa sejak akhir 80-an, bioskop itu sudah tak beroperasi, kalah bersaing dengan masuknya jaringan Bioskop Grup 21. Dan kala terakhir aku melewati bekas bangunan bioskop itu, gedungnya telah berubah berfungsi sebagai gudang dan tampaknya akan dilakukan pembongkaran. Dengan lirih, ia menyayangkan kondisi itu.
Tampaknya, ia memiliki begitu banyak kenangan pada bioskop itu. Wajar saja, karena bioskop itu adalah merupakan tempat hiburan yang paling dekat dengan pelabuhan Seng Hie, pelabuhan laut yang ramai pada masa itu. Sebagai pelaut yang dapat berhari-hari berlayar di laut, bioskop biasanya merupakan tempat menghibur diri saat kapal sedang merapat dan bongkar-muat. Apalagi, pada masa itu, film nasional kita masih berada pada masa keemasan.
Kukenang kembali masa kecilku, karena sulit mencari hiburan, bioskop menjadi salah satu yang terfavorit. Ada banyak bioskop yang menjamur di penjuru kota. Di tengah kota, selain Kapitol atau Menara, ada beberapa bioskop lainnya, diantaranya: Pontianak Teater, Abadi Teater, Kapuas Teather dan Khatulistiwa Teater. Beberapa bioskop lainnya berada di pusat pemukiman, seperti: Bioskop Lido di Sumur Bor, Bioskop Jeruju di Jeruju, Garuda Teater di Sungai Jawi, Bioskop Nusa Indah di Siantan, Jeruju Teater di Jeruju dan Kota Baru Teater di Kota Baru.
Hampir semua bioskop itu, berguguran diera 80-an, akibat masuknya Grup 21, milik Sidwikatmono, yang menggunakan strategi cineplex (cinema complex). Guna mendukung strateginya itu, kelompok usaha ini, yang pemilikinya masih berhubungan darah dengan Ibu Negara pada waktu itu, memanfaatkan kedekatan dengan penguasa untuk memperoleh kewenangan monopoli dalam distribusi film. Pada masa itu, Kota Pontianak memiliki 4 cineplex, diantaranya: Kapuas 21 di Kompleks Kapuas Plaza, Dinasti 21 di pertokoan di Jalan Tanjungpura dan Studio 21 di Kompleks Nusa Indah Plaza.
Kejayaan kelompok 21 ini tak berlangsung lama, hanya bertahan kurang dari 10 tahunan. Pada awal 1990-an, perkembangan teknologi memungkinkan masyarakat untuk menikmati film di rumah atau dikenal juga sebagai home studio (bioskop di rumah) melalui perangkat pemutar cakram (compact disk player). Apalagi, di negara yang belum begitu menghargai hak atas kekayaan intelektual ini, penggandaan compact disk yang menjadi perangkat pendukungnya amat mudah diproduksi secara illegal. Keadaan ini diperparah dengan deregulasi pertelivisian, yang mencabut monopoli TVRI sebagai satu-satunya lembaga penyiaran televisi. Akibatnya bermunculan televisi swasta, yang juga menyajikan banyak hiburan bagi warga kota.
Kini, bangunan-bangunan bioskop masa lalu, hampir seluruhnya berubah fungsi. Bioskop Abadi di persimpangan Diponegoro dan Tanjungpura telah berubah menjadi gedung perbankan milik Bank Internasional Indonesia, Bangunan Pontianak Teater, walau hingga kini lokasi tersebut masih digelari banyak orang sebagai PT yang merupakan singkatannya, telah berubah menjadi Supermaket Kaisar yang terkenal menjual barang-barang konsumsi berasal dari Malaysia. Perubahan menjadi supermaket juga terjadi pada beberapa bekas bangunan bangunan bioskop lainnya, seperti: Garuda Teater yang menjadi Supermaket Garuda Mitra dan Jeruju Teater yang menjadi Supermaket Metro Daya. Ruang bekas Kapuas Teater di lantai atas komplek pertokoan Kapuas Indah, beberapa waktu belakangan dipergunakan sebagai arena sepak bola ruangan.
Bangunan eks Bioskop Lido, dipersimpangan Jl. Danau Sentarum dan Jl. Dr. Sutomo, telah lama dibongkar dan di atasnya telah berdiri beberapa rumah toko. Bioskop Kota Baru pun telah pula berubah pemanfaatannya. Setelah sebelumnya sempat menjadi tempat latihan aerobik, sejak beberapa tahun belakang bangunannya telah menjadi persekolahan teologi. Dan yang paling malang adalah dialami bekas bangunan Khatulistiwa Teater, yang terletak tepat di jembatan penyeberangan satu-satunya di Pontianak di Jl. Tanjungpura. Bangunan bioskop ini dipagari dengan seng dan tak lagi tampak bangunannya. Fungsi bangunannya tidak jelas, sementara halamannya dimanfaatkan Bank Mandiri sebagai tempat parkir pelanggannya.
Di banyak kota, bioskop dan gedung pertunjukan kerap menjadi ciri khas dan penanda (landmark) dari kota yang bersangkutan. Selain itu, bangunan-bangunan tersebut banyak meninggalkan kenangan bagi warga kota dan pengunjung yang mendatanginya. Dan tentunya kenangan tersebut, yang mungkin saja merupakan kenangan manis ataupun pahit, akan menguap seiring dihancurkan atau dirubahnya bangunan tersebut. Tak heran, banyak otoritas kota yang berupaya menjaga keberadaannya. Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah Kota Pontianak. Telah banyak landmark kota yang hilang. Penjara Sungai Jawi, Arena Remaja, Persekolahan Kampung Bali dan Puskesmasnya, Gedung Pancasila dan Komplek Tangsi Militer merupakan beberapa contoh landmark di Pontianak, yang telah tak dapat lagi kita lihat kini. Sementara, bangunan SMP Negeri 1 tempatku dan juga Pak Walikota sekarang bersekolah dahulu, kabarnya juga sedang dalam antrian untuk renovasi (bahasa yang lebih halus dari dibongkar), setelah sebelumnya diberitakan akan digusur. Semoga pembongkaran yang dilakukan tidak merubah terlampau banyak ciri khas lamanya.
Nah, kita tunggu saja, landmark mana lagi yang akan menyusul untuk dihancurkan atau diubah.

2 Comments:

Anonymous 0vie Ar's said...

Informatif sekali Yan, tq ya, tulisan2mu membuatku tahu lebih dalam tentang kota tercintaku. Maklum aku tdk besar disini, seandainya aku besar disini, betapa indahnya kenangan masa kecilku.

4:24 AM  
Anonymous 0vie Ar's said...

Informatif sekali Yan, tq ya, tulisan2mu membuatku tahu lebih dalam tentang kota tercintaku. Maklum aku tdk besar disini, seandainya aku besar disini, betapa indahnya kenangan masa kecilku.

4:24 AM  

Post a Comment

<< Home