Sunday, December 14, 2008

Gaya Rambut Dwifungsi

Agak lebat hujan siang itu melanda Tarutung, tempat kubekerja hampir satu tahun terakhir. Ah, tiba-tiba saja bosan mendatangiku yang sedari pagi hanya terpaku di depan komputer. Tak sengaja terpegang rambutku, sudah cukup panjang rasanya. Maklum saja, sejak terasa cukup banyak rambut yang gugur kala bangun pagi ataupun mandi beberapa tahun belakangan, lebih senang aku memangkasnya cepak. Hitung-hitung penghematan juga buat beli sampo.

Berniat mengusir jenuh itu, kusempatkan diri untuk bercukur. Pilihanku jatuh ke sebuah rumah pangkas sederhana yang terletak hanya 10 pintu dari kantorku. Sudah cukup lama rasanya aku tak bercukur di kios cukur sejenis. Akhir-akhir ini aku lebih sering bercukur di salon frenchise di pusat perbelanjaan, seperti: Johni Andrean, Rudi Hadi Suwarno, Lutuye dll. Bukan kenapa, bercukur di salon jenis franchise ini lebih praktis buatku sekarang. Selain mudah dijumpai di pusat perbelanjaan, layanan dengan sekalian cuci rambut juga mempermudahku karena tak harus bergatal-gatal ria akibat sisa rambut.

Peralatan, lay out ruang dengan kaca-kaca lebar di dua sisi, kursi cukur yang diatur manual dan tampang tukang cukur yang klimis, mengingatkanku tempat cukur langganan di masa kecil di kota kelahiranku.

Saat-saat diajak papaku bercukur dulu merupakan agenda rutin bulanan yang selalu kutunggu dan sekaligus kukhawatir. Kutunggu, karena biasanya sehabis itu, kami pasti mampir ke tempat makan istimewa atau sekurangnya membeli goreng pisang atau roti tawar buat mama dan kakakku yang tidak turut serta. Sementara khawatir, karena pasti hasil pangkasnya tak seperti yang kuharapkan.

Sebuah kios cukur di sekitar Kawasan Kapuas Indah, terminal utama angkutan kota atau oplet di Pontianak pada masa itu, merupakan tempat favorit yang akan kami kunjungi untuk melakukan ritual ini. Kawasan Kapuas Indah pada masa itu luar biasa ramainya. Maklum oplet ke seluruh tujuan akan berhenti di sana, apalah lagi jenis transportasi ini masih menjadi primadona. Selain pada masa itu penyeberangan feri, yang pelabuhannya terletak berdekatan dengan kawasan ini, masih sangat vital menjadi penghubung dua bagian kota yang dibelah Sungai Kapuas. Kapuas Indah Plaza pun masih menjadi pusat perbelanjaan utama di kotaku. Tidak seperti saat ini, yang bak kerakap, hidup segan namun matipun tak jua mau. Kawasan ini kini menjadi kawasan yang cukup kumuh dan mengkhawatirkan keamanannya. Padahal dulu, bayangkan saja, saat pertama kali dibuka, tangga berjalan plaza yang merupakan yang pertama di Kalimantan Barat ini, hanya beroperasi tidak lebih dari 2 minggu. Tangga berjalan ini rusak akibat kelebihan penumpang. Ribuan orang dari penjuru kota dan daerah lain di Kalbar antusias mengunjunginya.

Kekhawatiranku saat bercukur sebenarnya ungkapan yang terlampau optimis. Setiap ritual bercukur tiba, asaku selalu kulambungkan, yakni bisa menentukan sendiri model rambutku. Padahal, asaku itu taklah akan pernah terjadi. Maklum saja karena profesinya sebagai seorang tentara, papaku selalu menentukan jenis pangkas buatku. Modelnya pun selalu tetap, yakni model 3-2-1, maksudnya 3 di bagian muka, 2 di bagian samping dan satu di bagian belakang. Selalu saja proposalku untuk mengganti model lain tak akan digubris papaku. Hal ini tak hanya terjadi pada diriku saja, hampir semua teman-temanku di Tangsi Militer (Asrama Hidayat di Sungai Bangkong) tempatku tinggal mengalami hal serupa. Kami hanya dapat berkeluh kesah bersama-sama dan mengerutu meratapi perlakuan orang tua kami itu.

Aku dan teman-teman masa kecilku di Tangsi Militer menjuluki model ini sebagai model Dwifungsi, seperti dokrin militer yang populer diindokrinasikan oleh rezim Suharto saat itu. Karena bagian depan bisa dipergunakan sebagai kuas dan bagian belakang bermanfaat untuk jadi parutan. Jika ada teman yang sedang jadi korban model ini, kami akan sama-sama mentertawainya. Sebaliknya, jika sedang menjadi korban, hanya cengiran kesal lah yang bisa diperbuat. Itulah nasib menjadi anak kolong.

Seingatku aku baru terbebas dari model ini saat sudah di bangku SLTA, itupun karena ada teman sekolah yang piawai mencukur. Jadi bisa dimintakan tolong untuk mencukurkan rambutku. Senang sekali rasanya waktu pertama kali bisa terbebas dari model rambut ini.

Tiba-tiba saja terlintas dipikirku, bagaimana nasib anak-anak militer sekarang, apakah mereka masih mengalami nasib yang sama dengan kami dulu. Mudah-mudahan saja tidak dan pendapat ataupun keinginan mereka sudah dapat diakomodasi oleh para orang tua mereka. Masak sih, dwifungsi ABRI saja dapat direposisi, sementara model rambut dwifungsi tidak.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home