Thursday, April 24, 2008

Cik Cik Periok

Cik cik periok belanga sumbing dari Jawe
Datang nek kecibong bawa piting dua ekok

Cak cak bom dalam bilanga idung picak gigi rongak
Siape ketawa dolo dipancung raja tunggak

Begitulah bait nyanyian tradisional yang didendangkan anakku beberapa waktu yang lalu saat kutelpon dia. Keterpisahan tinggal aku dan dia terkadang mengalirkan rindu pada diriku, pun kuyakin pada dirinya. Walaupun tak setara dengan perjumpaan dengan dia, bertelepon dengannya terkadang cukuplah menjadi penentram hati, yang juga sekaligus menambah rasa rinduku.

Lagu rakyat (folk song) khas Kalimantan Barat itu dinyanyikannya, karena beberapa waktu belakangan dia sedang mengikuti kursus menari. Dan tari yang dipraktekannya berlagu latar nyanyian tersebut. Rasanya tak sabar aku melihat anakku ini menari dihadapanku. Aku sudah kehilangan satu kesempatan melihatnya menyanyi ’layang-layang’ di sebuah mal di Pontianak beberapa bulan yang lalu. Keberaniannya tampil di publik sangat mengagumkanku, jika mengingat dia dulu cukup pemalu sewaktu baru berusia sangat belia. Kuacungkan dua jempol pada sekolahnya yang mampu menghadirkan rasa percaya diri padanya. Kalau kubandingkan dengan diriku dulu, tentunya jauh sekali. Hingga sekolah menengah atas, tak lah berani aku maju di depan kelas. Lututku rasanya lemas, badanku kaku, mulutku serasa terkunci dan perut terasa mual. Mungkin orang tak akan percaya dengan hal ini. Kini, rasa demam panggung itu sudah berhasil ku atasi.

Mengenang nyanyian itu, aku teringat sebuah diskusi kecil dengan beberapa orang teman di Yogyakarta pada pertengahan 90-an. Saat itu, seingatku ada sebuah lokakarya pembangunan Kalbar yang diselenggarakan Forum Paska Sarjana KPMKB (Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Barat), yang pada masa itu dikomandani Rektor Universitas Tanjungpura saat ini, DR. Khairil Effendi (Bang Aye). Diskusi kecil itu dilakukan disela-sela acara tersebut. Dalam diskusi ini, ada seorang teman (yang kalo tidak salah sedang mengambil program paska di UGM dan berasal dari Putussibau, hanya yang pasti kuterlupa namanya) yang melemparkan tesis nyanyian tersebut bukanlah hanya sekedar rangkaian kata-kata semata. Namun merupakan nyanyian yang bermakna ramalan dari nenek moyang masyarakat Kalbar menyangkut kondisi masyarakat Kalbar pada suatu masa. Aku dan beberapa teman yang mengikuti diskusi swasta itu cukup tercengang dan tersentak dengan tesisnya tersebut.

Menurutnya, pada bait pertama menggambarkan pada suatu masa tersebut akan datang banyak orang yang termarginalkan (orang-orang kalah) di Jawa ke Kalbar (Cik cik periok belanga sumbing dari Jawe) dan akan terjadi pengambilan sumber daya alam secara besar-besaran (Datang nek kecibong bawa piting dua ekok). Sementara pada bait kedua menggambarkan siapa yang menentang akan dilakukan penekanan (Cak cak bom dalam bilanga idung picak gigi rongak) dan yang berani protes akan dilakukan pembinasaan oleh penguasa yang lalim (Siape ketawa dolo dipancung raja tunggak).

Aku dan beberapa teman-teman yang masih menuntut ilmu di beberapa perguruan tinggi di Jawa waktu itu, langsung mencoba melihat realita yang terjadi pada saat itu. Rasanya, kondisi tersebut cukup mengena dengan kondisi saat itu, dimana Orde Baru sedang di masa kejayaannya, transmigrasi (yang hampir sebagian besar dari Jawa) sedang galak-galaknya dilakukan, HPH sedang leluasa melakukan perusakan hutan di Kalbar, trawl sedang hebat-hebatnya menggusuri daerah tangkap nelayan tradisional dan pendekatan keamanan menjadi senjata handal meredam kelompok pro demokrasi. Betul, pada masa itu, Kalbar sedang menjadi etalase paling berhasil dari rezim pada masa itu. Masyarakat Kalbar hanya menjadi penonton dari segenap perusakan dan ketidakadilan yang menimpa dirinya dan generasi penerusnya.

Ah, cukup berhasil rasanya, provokasi yang disampaikan teman ini. Diskusi swasta ini kurasakan jauh lebih bernilai dibandingkan diskusi resmi yang dilakukan, yang hanya menampilkan segepok rencana-rencana dan teori-teori yang jauh dari realita dan kebutuhan. Kini, pertanyaanku apakah ramalan dari nyanyian ini sudah berhenti pada dengan berakhirnya rezim Orde Baru, ataukah masih berlanjut? Atau mungkin ada cerita lisan (folk story) dan nyanyian rakyat (folk song) lain yang menggambarkan kondisi Kalbar saat ini dan masa yang akan datang?