Wednesday, July 22, 2009

Gerobak Pasir

Perjalananku ke Sipirok kali ini kusempatkan mampir ke sebuah tempat yang memiliki keterkaitan amat erat dengan diriku. Yakni mengunjungi sebuah kuburan tua, yang dugaanku telah berumur lebih dari 500 tahun. Kuburan yang berada di puncak sebuah bukit berjarak 2 km dari Desa Sampean, Sipirok itu adalah kuburan dari Oppu Nihatunggal, yang merupakan satu dari tiga migran Siregar yang merantau dari Lobu Siregar di Kecamatan Muara di pinggir Danau Toba ke Sipirok di Tapanuli sebelah selatan. Jika kulihat tarombo (silsilah keluarga) yang kumiliki, aku adalah keturunan ke-13 dari beliau. Sebagai seorang yang dibesarkan bukan di tanah Batak, pengalaman ini cukup berarti bagiku.

Bekerja di perantauan yang merupakan tanah asal ayah dan ibuku, memberikan kesempatan untuk memperlancar bahasa Batak (yang masih saja dapat dikategorikan marpasir-pasir) dan memahami kembali adat Batak yang diperkenalkan ayah-ibuku. Kalaulah dulu hal ini hanya menjadi sebatas pengetahuan semata, sekarang mungkin kucoba melihat realitas dan nilai di baliknya. Sewaktu masih menetap di tanah kelahiran dimana tembuni (ari-ari)ku ditanam, Pontianak, tak jarang aku mendapat julukan gerobak pasir atau gerombolan Batak payah diusir. Ah, ada-ada saja julukan itu. Padahal keinginan untuk membangun kampung halamanlah yang menjadikannya pilihanku untuk kembali paska menuntut ilmu di tanah Jawa.

Migran Batak tampaknya mulai berdatangan ke Pontianak dan daerah lain di Kalbar pada awal 1900-an. Keterbukaan akses transportasi dan kebutuhan tenaga administrasi penjajah Belanda mungkin menjadi pemicunya. Maklum saja, Tapanuli merupakan salah satu tempat paling awal didirikannya sekolah berkurikulum barat di Nusantara. Hingga akhir penjajahan Belanda tampaknya ada beberapa migran Batak yang punya posisi penting di pemerintahan dan tampaknya sudah pula sampai di daerah perhuluan. Pernah kudengar kabar pada masa itu ada seorang bermarga Siregar yang menjadi Demang di Kapuas Hulu. Berdasarkan data korban kejadian Mandor di Surat Kabar Borneo Shimboen (Banjarmasin) pada 2 Juli 1944, yang kuunduh dari situs Nederlands instituut voor oorlogsdocumentatie, pun terdapat beberapa orang Batak yang menjadi korban dan dikategorikan sebagai dedengkot gerombolan pemberontakan oleh Angkatan Laut Tentara Pendudukan Jepang, diantaranya: Lumban pea (43 tahun), Panangian (48 tahun) dan istrinya Nurlela (45 tahun), Abdoel Samad (51 tahun), Nazarudin (35 tahun), Tamboenan (29 tahun), dan Nasrun Soetan Pangeran (31 tahun).

Jumlah perantau Batak di Kalbar, utamanya di Pontianak, hingga akhir 1970-an masihlah terbatas. Kebanyakan masih didominasi pegawai, guru dan militer. Maklum karena masih sedikit, pada masa itu, suasana kekerabatan para perantau Batak cukup erat. Jika lebaran tiba, aku sekeluarga pasti akan bersilaturahmi ke beberapa keluarga Batak yang muslim, seperti opung Siregar mantan Bupati Sanggau di Jalan Budiman (sekarang Jalan Piere Tendean), opung Siregar di sebelah mesjid Jihad, opung Siregar (seorang Patuan/ raja adat dari Sipirok) di Komplek Pemda Kota Baru, opung Siregar di Jalan Sidas, opung Nasution mantan pegawai Dinas Perkebunan di Podomoro, opung Batubara di Gang Batubara (yang nama gangnya diambil dari nama beliau) di Jalan Veteran (sekarang Jalan Johar) dan lainnya. Nah, sementara jika tahun baru tiba, kami akan bertahun baru ke rumah keluarga Batak Nasrani yang merayakannya, seperti: opung Siregar mantan Pelni di Lembah Murai, opung Simanjuntak di Gang Tani (sekarang Jalan Putri Dara Hitam), opung pendeta Silitonga di Karimun dan amatua Siregar di Jalan Veteran.

Meningkatnya migran Batak di Kalbar terjadi sejak 1980-an, terutama distimulasi oleh pembukaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PTP VII (sekarang dilebur ke dalam PTP XIII), dimana perusahaan ini berkantor pusat di Bah Jambi, Sumatera Utara. Banyaklah teknisi perkebunan yang dipindahkan ke Kalbar oleh perusahaan ini dari Sumatera Utara, yang cukup banyak diantara mereka adalah orang Batak. Hal ini didukung pula semakin lancarnya transportasi dari Sumatera-Kalimantan. Kuperkirakan lebih dari 2.000 keluarga perantau bermukim menyebar di sekitar Pontianak. Anggota Saroha, yang merupakan perkumpulan Batak Islam, dugaanku mencapai lebih dari 500 keluarga. Lihat juga keberadaan gereja Batak yang ada. HKBP (Huria Kristen Batak Protestan, gereja Batak terbesar dan mayoritas anggotanya berasal dari sub etnis toba) setahuku punya 3 buah gereja (Kota Baru, Jeruju dan Siantan), GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) memiliki sebuah gereja yang berada di depan Kantor Gubernur Jl. Ahmad Yani, dan GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) memiliki sebuah gereja yang berada di Jl. WR Supratman. Mungkin karena keterbatasanku saja yang belum menjumpai beberapa gereja Batak lainnya, seperti: GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola), HKI (Huria Kristen Indonesia) ataupun GKPPD (Gereja Kristen Protestan Pakpak-Dairi).

Identitas kebatakanku taklah pernah kusembunyikan. Margaku pun selalu kububuhkan di belakang namaku. Bahkan di masa SMA, teman-teman pun punya panggilan khas buatku yakni Bang Lae. Baik lelaki ataupun perempuan memanggilku dengan panggilan tersebut, yang mungkin bagi orang Batak dirasakan mengganjal. Lae adalah panggilan yang berlaku hanya buat seorang lelaki pada lelaki lainnya, khususnya yang berhubungan ipar. Aku merasa tumbuh dalam dua kultur yang tak bisa kupisahkan, yakni kultur Batak yang secara genetik dan dalam keluarga diajarkan, serta kultur Melayu yang melingkupi keseharianku dalam pergaulan. Bagiku Melayu taklah terbatas pada hakikat kesukuan (etnicity) semata, namun jauh melampaui itu, yakni peradapan (society). Kemelayuanku, kerelaan menjaga marwah Melayu dan kecintaanku pada tanah Melayu taklah perlu dipertanyakan, walaupun tak ingin pula aku ikut dalam kelaskaran Melayu yang marak paska reformasi bergulir.

Bolehlah kumodifikasi sedikit sebuah pantun yang diperkenalkan kembali oleh Sutardji Kalsum Bahri, presiden penyair Indonesia, pada sebuah peringatan mengenang Raja Ali Haji --sang pencipta Gurindam Dua Belas-- yang kuhadiri di Jakarta lebih dari 10 tahun lalu, yakni:
"Bukan kampak (versi Bang Tardji: linggis) sembarang kampak... Kampak ada dalam perahu... Bukan Batak (versi Bang Tardji: Bugis) sembarang Batak... Batak sudah menjadi Melayu".

Monday, July 13, 2009

Sentiong

Akhirnya tuntas juga kubaca buku yang telah lama kucari-cari ini. Buku terjemahan yang berhalaman cukup lumayan tebal ini berkali-kali muncul kala sedang mencari infomasi tentang kampung halamanku di mesin pencari google. Buku berjudul asli “Golddiggers, Farmers, and Traders in The Chinesse District of West Kalimantan Indonesia” yang dikarang oleh Mary Somers Heidhues dan terjemahannya diterbitkan oleh Yayasan Nabil ini melengkapi koleksi referensiku tentang sejarah pemukim Cina di Kalbar. Setelah beberapa tahun yang lalu di sebuah situs kujumpai sebuah disertasi dari Universitas Leiden berjudul Chiness Democracy yang ditulis oleh Yuan Bingling (www.xiguan.net/yuanbingling), yang mengambil pengamatan pada kurun waktu yang berdekatan.

Kedua refensi ini sangat memberikan gambaran utuh tentang kampung halamanku di era 1700 hingga awal 1900an--kala para migran china di awal-awal bermukim di tanah yang kaya emas, kalimantan--, baik menyangkut pertarungan politik maupun pengusahaan ekonomi. Pembelajaran masa lalu ini menarik sekali untuk diambil hikmahnya. Dimana kerap kali terlihat keinginan dominasi atas penguasaan sumber ekonomi oleh segelintir elit akan dengan mudah mengorbankan rakyat yang tak berdosa. Dan cara-cara kekerasan dengan mempergunakan atribut etnisitas akan dengan mudah memperbesar eskalasi konflik yang sekaligus menutupi kepentingan penguasaan sumber daya. Padahal di ujung cerita, setelah konflik usai ternyata keinginan penguasaan itupun taklah pula berbuah kemakmuran ataulah kejayaan. Sebaliknya luka pada pola relasi antar etnisitas yang ada menjadi semakin melebar.

Pemukim Cina menurut amatanku sejatinya telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan Kalimantan Barat. Interaksi mereka dengan penduduk lokal dapatlah dikatakan amat erat. Teknologi pertambangan dan pertanian yang mereka bawa cukup banyak berkontribusi pada praktek yang berlangsung hingga saat ini. Penggunaan air yang dialirkan di alur emas yang ada dan pengaturan bagi air limbah yang dihasilkan dari proses penambangan diperkenalkan oleh para migran yang ulet ini. Demikian pula dengan beberapa peralatan pertanian seperti tajak, mata cangkul yang khas dan peralatan pertanian lainnya. Pun budidaya padi sawah beririgasi, pertanian sayur, lada dan karet tak lepas dari pengaruh mereka.

Saat melihat sketsa kota Pontianak di pertengahan 1800-an, yang menjadi sampul buku terjemahan ini, ingatanku pun melayang pada sebuah nama yakni Sentiong. Nama ini serupa dengan nama lokasi sejenis di Jakarta, yakni Kramat Sentiong, yang juga merupakan sebuah kawasan pekuburan Cina. Mungkin saja beberapa migran awal Cina yang bermukim di Kota Pontianak dan sekitarnya dikuburkan di kawasan pekuburan ini. Sayang untuk membuktikannya tak lah dapat kulakukan. Lokasi ini telah lenyap dimakan peradaban baru. Pembangunan dan modernitas tampaknya tak bersahabat dengan situs-situs tua, yang cenderung dipandang kuno ataupun tertinggal.

Hingga akhir 1970-an ataupun awal 1980-an lokasi ini masih belum banyak berubah sebagai kawasan pekuburan. Namun tuntutan perkembangan kota akhirnya menggusurnya menjadi kawasan perkantoran dan perumahan pegawai pemerintah. Kini, setelah lebih 25 tahun kemudian, kawasan yang dulu tampak angker itu, telah berubah menjadi kawasan elit Kota Pontianak. Kawasan yang dulu di rencana awalnya, hanya akan dimanfaatkan sebagai kawasan perkantoran, pendidikan dan pemukiman pegawai ini, telah pula disisipi beberapa fasilitas bisnis, seperti ruko, rukan, rumah sakit bahkan mall. Kawasan ini dimasaku SMA, di akhir 80 hingga awal 1990-an, terkenal dengan sebutan LA atau lintas ayani. Sebutan ini mengikuti trend yang sedang marak pada masa di ibukota yang memiliki Lintas Melawai. Pada masaku SMA, jalan ini menjadi tempat nongkrong utama, yang merupakan tujuan utama bagi kami di malam minggu atau sekedar berjalan-jalan sore. Tampaknya, nongkrong di sekitar LA ini sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke mall ataupun café-café yang bertumbuhan. Pun kebiasaan yang ada dizamanku telah pula digerus oleh trend baru yang muncul dikemudian.