Tuesday, September 15, 2009

Balek Kampong ber-Lawit Sirimau

Balek kampong atau mudik merupakan sebuah budaya yang jamak berlangsung rutin setiap tahun dimana lokasi di Nusantara ini. Fenomena ini biasanya terjadi seiring dengan berlangsungnya hari raya, seperti: lebaran, tahun baru, natal ataupun imlek. Jakarta, Medan, Surabaya dan banyak kota-kota besar lainnya akan mengalami pengurangan penduduk pada masa-masa ini. Kehidupan metropolitan yang biasanya padat menjadi lenggang dalam beberapa saat, dan akan kembali ke keadaan semula beberapa saat setelah para pemudik kembali, bahkan terkadang keadaannya menjadi lebih parah. Banyak di antara pemudik yang kemudian membawa serta sanak familinya untuk bertarung di keganasan kota besar. Urbanisasi, begitu para pakar menyebut kejadian ikutan dari fenomena mudik ini. Jika ditilik sedikit mendalam, fenomena mudik sebenarnya menghadirkan arus balik kapital dari pusat-pusat penyerapan kapital ke daerah-daerah. Padahal biasanya, penghisapan kapital atau diistilahkan juga sebagai capital flight ini berlangsung sangat deras dan menjadikan penumpukan kapital di daerah-daerah yang disebut pusat-pusat pertumbuhan atau penumpukan ekonomi, seperti kota-kota besar. Nah, saat mudik, para pemudik setidaknya akan membelanjakan uang yang mereka peroleh di pedesaan atau daerah, baik untuk membeli makanan atau sekedar memberikan angpao (sanggu) buat sanak keluarga yang datang. Walaupun tak lah mencapai terjadinya kesetimbangan dari yang sudah ditarik, tapi lumayan jua uang ini bisa memunculkan peluang ekonomi baru di desa ataupun daerah.

Hukum ekonomi menyatakan, akibat meningkatnya permintaan pada saat yang bersama, pasti akan diikuti oleh peningkatan harga, karena penyedianya memiliki keterbatasan. Diakibatkan oleh mudik, biasanya akan pula terjadi peningkatan harga atau tarif jasa moda transportasi. Pemerintah kemudian memperkenalkan tuslah sebagai batasan tarif tertinggi agar para penyedia jasa tidak melakukan penghisapan yang berlebihan. Walaupun sudah menyadari kondisi yang demikian akan terjadi, namun diakibatkan ketidakpastian jadwal, aku pun terpaksa menerima harga tiket pesawat yang mungkin melebihi tuslah untuk menunaikan balek kampong di masa lebaran tahun ini. Apa mau dikata, hukum pasar berjalan sangat baik. Penerbangan ke Pontianak di masa lebaran meningkat drastis. Tak hanya yang hendak berlebaran saja yang menyerbu tiket pesawat ke sana. Para perantau Tionghoa pun memanfaatkan masa-masa libur lebaran untuk ikut pula balek kampong. Suasana lebaran yang hangat, pulangnya para karyawanya serta berkurangnya sebagian besar penduduk yang membuat usahanya menjadi kurang menguntungkan merupakan beberapa alasan yang disampaikan karib Tionghoaku, saat kutanya mereka mengapa ikut balek kampong di masa lebaran.

Masa-masa balek kampong selalu mengingatku dengan kebiasaan ber-balek kampong saat dulu masih berkuliah di Bogor di awal hingga pertengahan 1990-an. Saat itu, bagi mahasiswa perantau dari kampongku, hanya yang memiliki orang tua yang sangat berpunya sajalah yang dapat menikmati balek kampong dengan pesawat udara atau terjadi sebuah kejadian luar biasa, seperti yang kualami pada saat ayahku meninggal. Pelaku pasar di penerbangan domestik saat itu masih dibatasi, hanya ada Garuda, Merpati dan Mandala semata. Harga tiket penerbangan pun akhirnya menjadi masih sangat mahal, maklum deregulasi dibidang penerbangan belum terjadi. Sehingga kawula umum, seperti halnya diriku, selalu menggunakan kapal laut untuk menunaikan keinginan balek kampong ataupun kembali lagi ke perantauan di tanah Jawa. Kapal yang paling umum memberikan pelayanan adalah kapal penumpang yang dimiliki oleh Pelni. Selama lima tahun, seingatku setidaknya empat kapal yang pernah melayani perjalananku, diantaranya: Kapal Motor (KM) Lawit, KM Sirimau, KM Bukit Raya, dan KM Leuser.

Jika hendak balek kampong, jalur pelayaran yang kutempuh adalah Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta ke Pelabuhan Pontianak, karena pelabuhan pemberangkatannya yang berada paling dekat dengan perantauanku. Namun jika hendak kembali ke perantauan, setidaknya aku memiliki tiga altenatif jalur pelayaran yang semuanya pernah kulalui, yakni: Pelabuhan Pontianak menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Pontianak menuju Pelabuhan Cirebon dan Pelabuhan Pontianak menuju Tanjung Emas di Semarang. Biasanya,. jadwal yang paling mendekati waktu masuk kembali perkuliahanlah yang paling menentukan pilihanku. Toh, waktu tempuh dari Semarang ke Bogor hanyalah tak lebih dari 12 jam dan bis yang mengubungkan kedua kota itu pun tersedia hampir setiap jam.
Waktu tempuh yang biasanya harus dihabiskan di kapal kurang lebih 36-40 jam, jika lancar. Keterlambatan biasanya diakibatkan kelebihan penumpang dari daya angkutnya, yang mengakibatkan kapal tak bisa melaju dengan kecepatan penuh dan bongkar muat menjadi lebih lama. Masa itu, sudah bukan rahasia umum lagi, jika di masa-masa liburan, kerap terjadi kolusi diantara agen penjualan, pihak penyedia jasa (termasuk tentunya para nahkoda) dan syahbandar pelabuhan untuk menjual tiket yang melebihi kapasitas angkut. Penyebab lain dari keterlambatan adalah tak bersahabatnya cuaca, utamanya di musim angin Barat pada bulan November sampai Januari. Apalah lagi buat diriku yang cukup akrab dengan mabuk laut. Taklah pernah luput antimo dan susu ultra menjadi bekalku sebelum naik kapal. Antimo tentunya untuk meredam mabuk dan susu ultra untuk mengisi perut, karena tak sanggup aku memakan makanan padat pada masa gelombang tinggi, bisa-bisa tiap 10 menit terpaksa harus jackpot atau muntah.

Di masa-masa libur kuliah, mahasiswa merupakan populasi tertinggi dari penumpang kapal itu. Sehingga, waktu 1 hari 2 malam di atas kapal menjadi masa yang menarik sekali. Kapal menjadi titik temu (melting point) dari beberapa teman lama yang terpisah tempat berkuliah. Ruang tidur kelas ekonomi yang mirip bangsal dan kafetaria yang ada di dek tertinggi kapal kerap menjadi tempat diskusi, tukar pengalaman, bermain remibok (sejenis permainan kartu) yang terkadang juga dilengkapi taruhan uang secara sembunyi-sembunyi, medium sakat-menyakat (cela-celaan) bahkan juga ngurat (pendekatan kepada) lawan jenis. Sore dan pagi hari di masa hari tak berbadai dan hujan, dek kapal menjadi ruang mejeng dari penumpang kapal untuk menikmati matahari terbit dan terbenam. Pun, saat-saat mau merapat atau berangkat dari satu pelabuhan.

Bagiku, KM Lawit merupakan kapal yang punya banyak cerita dan sejarah. Kapal ini merupakan kapal yang terbanyak mengangkutku untuk balek kampong dan juga kembali ke perantauan. Pernah pula, saat mengunjungi kampung halaman ayahku di Sumatera, kapal inilah yang kutumpang dari Pontianak menuju Pelabuhan Duri di Riau yang memakan perjalanan hingga 5 hari 6 malam pada 1990, sebelum akhirnya perjalanan dilanjutkan menggunakan jalan darat ke Padangsidempuan di Tapanuli Selatan. Lama waktu ini juga merupakan waktu terlama aku yang pernah kuhabiskan di atas kapal laut. Kapal tertua yang melayani pelayaran ke Pontianak ini pernah pula kutumpangi dengan gratis, walaupun terpaksa harus menjadi pencuci piring di kapal selama pelayaran. Memang karena tak beruang dan terbujuk rayu teman-teman dair kampong halaman yang kujumpai di Pelabuhan Tanjung Priok saat mengantar seorang teman dari Bogor. Tak terpikir sebenarnya hal itu kulakukan, namum apian (provokasi) beberapa teman tentang ketidaknyamanan berlebaran di perantauan membuatku nekat mencoba upaya itu. Keraguanku sirna saat seorang teman berteori taklah mungkin penumpang tak bayar akan dilemparkan ke laut atau di hukum berat, jika mengaku tak punya uang dan ingin kembali ke kampung halaman. Apalah lagi, gayaku yang lusuh dan tak membawa bekal selembar pakaian pun dipandang cukup dapat memperkuat skenario itu. Rupanya, pada waktu itu, tidak sendiri aku melakukannya, ada dua teman mahasiswa dari kota lain yang melakukan hal yang sama. Untunglah, ada teman yang berbagi nasib dimaki-maki nahkoda dan juga anak buah kapal yang lain.

KM Lawit akan sangat membekas di hati masyarakat Kalbar yang pernah menggunakan jasanya. Seorang temanku pernah bercerita, entah ini sebuah rekayasa atau memang kejadian sesungguhnya. Saat ia hendak menjemput seorang adiknya di pelabuhan yang menggunakan KM Sirimau, ia bertanya pada seorang tukang becak yang mangkal di depan pelabuhan tentang kapal apa yang merapat. Cukup terkejut ia, saat dijawab oleh tukang becak itu, yang sedang merapat adalah Lawit Bukit Raya dan Lawit Sirimaunya baru akan mendarat 2 jam lagi. Tampaknya, Lawit bahkan sudah menggantikan dan lebih populer dari istilah kapal motor. Setelah lebih dari 10 tahun tak pernah lagi menggunakan jasanya, karena semakin terjangkaunya tiket pesawat dan keterbatasan waktuku. Terakhir kuingat empat atau lima tahun yang lalu masih kulihat wujudnya, saat menjemput adikku pulang dari tanah rantau. Kini, kerinduan akan dirinya muncul di musim balek kampong ini. Ingin sekali rasanya mengetahui bagaimana kabar kapal itu saat ini. Masihkah ia beroperasi dan masihkan segagah dulu saat membawaku ke perantauan dan balek kampong?

Friday, September 11, 2009

Keriang Bandong

Ramadhan sudah memasuki sepertiga akhirnya. Bulan penuh berkah dan rahmat ini perlahan akan segera berganti ke bulan Syawal yang melambangkan kembali pada kesucian hakiki. Kerap diriwayatkan oleh para pensyiar, sepertiga akhir ini sejatinya merupakan waktu di mana berkah dilimpahkan, bahkan di salah satu malam ganjilnya, dikhabarkan merupakan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Masa-masa ini adalah masa yang dinanti oleh banyak orang untuk bertafakur ke hadapan Sang Khaliq.

Pun, dulu pada masa kecilku masa ini juga merupakan masa yang kunantikan. Ada sebuah tradisi yang ganjil rasanya, jika tak kami tunaikan di penghujung puasa ini. Tradisi ini sangat erat hubungannya dengan cara menyambut malam lailatul qadar. Beberapa kelompok masyarakat percaya bahwa agar para malaikat berkenan mencatat amal perbuatan kita di malam itu, maka sebaiknya rumah kita dilengkapi penerangan di sekitar rumah dalam menyambut malam agung itu. Maka tak jarang tradisi memasang penerang pun banyak kita jumpai di penjuru nusantara ini.

Di kampongku tercinta, Pontianak, tradisi serupa lebih dikenal melalui pembuatan dan pemasang keriang bandong di sekitar rumah. Keriang bandong adalah semacam lampion dengan penerang lilin di dalamnya. Rangkanya berasal dari rautan buluh (bambu) yang dilapisi kertas minyak, baik yang hanya didominasi satu warna ataupun berwarna-warni. Di zamanku, bentuk keriang bandong yang banyak dibuat seingatku berbentuk limas, rumah, mobil sederhana, ikan, pesawat ataupun burung. Kesederhanaan bentuk kurasa menjadikannya penyebab kenapa desain-desain ini yang paling banyak dibuat. Maklum saja, karena yang membuatnya sebagian besar adalah anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Aktivitas pembuatannya pun sekedar kegiatan mengisi waktu sembari menanti saat berbuka tiba.

Kuduga tradisi ini erat pengaruhnya dari tradisi yang dibawa oleh pemukim Cina di kampongku, yang juga mengenal permainan ini sebagai tanglong. Namun, entah dari mana istilah keriang bandong ini berasal. Menurut Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kota Pontianak H Syafruddin IB (dalam http://efprizan.blogspot.com), ia menerka, “Keriang kan nama binatang yang mengeluarkan bunyi khas di malam hari. Keriang suka dengan cahaya dan datang berbondong-bondong. Mungkin dari situlah namanya diambil, jadi keriang bandong”. Aku sendiri menduga, bungkusnya yang menggunakan kertas minyak itu, membuat permainan ini menyerupai keriang, sejenis kumbang berwarna hijau yang memiliki sayap transparan dan sering mengeluarkan bunyi di malam hari. Serangga yang digolongkan ke dalam ordo Hemiptera dan sub ordo Cicadomorpha ini, dalam bahasa Indonesia lebih dikenal sebagai tenggoret atau cicada dalam bahasa Inggrisnya. Sementara bandong sendiri mungkin berasal dari kebiasaan orang memasang aksesoris ini di pinggir parit dan menyerupai kapal bandong (klotok) yang sedang tambat (menepi) di pinggir sungai di malam hari.

Di masa itu, sehabis shalat taraweh, sering kali kami mengarak keriang bandong kami keliling kampung dan beberapa di antaranya ada yang mengadu kekuatan keriang bandongnya. Rusak, patah dan terbakarnya keriang bandong kami adalah resiko yang akan kami peroleh dalam aduan ini. Sembari mencari lawan aduan, biasanya beberapa anak membawa keriang bandong berjalan berarakan. Dalam arak-arakan kami itu, ada sebuah lagu yang khas kami nyanyikan berulang-ulang, yaitu: “Hee...Mantoyo, Mane Musoh, Agogo.” Sehabis arak-arakan, bisanya, kami akan mengembalikan keriang bandong kami ke tempatnya, yakni di pinggir parit yang ada di depan rumah atau di depan pagar masuk rumah kami masing-masing.

Permainan ini dapat berlangsung berjam-jam hingga menapaki tengah malam. Akibatnya, saat pulang ke rumah, omelan lah yang akan menanti. Apalah lagi, saat-saat ini adalah juga saat genting bagi para ibu kami. Ritual membuat kue lebaran, pastinya membutuhkan tenaga tambahan. Sudah juga tradisi, jika masa-masa ini para ibu kerap absen di mesjid dalam bertaraweh diakibatkan kesibukan membuat beragam kue, agar marwah keluarga tak turun di hadapan sanak keluarga di hari raya. Nah, anak-anak seperti kami dulu, pasti bermanfaat, dalam menambah tenaga bantuan. Setidaknya untuk mengoleskan kuning telur di atas kue yang akan dipanggang, memarut nanas untuk bahan nastar ataulah mengupas kacang yang akan digoreng kering dan jadi sajian khas lebaran. Di masa itu, ada saja cara yang aku dan teman-teman sebaya buat untuk tetap dapat bermain keriang bandong dan menghindari kewajiban turut membantu membuat kue. Sayangnya, kini tak lagi banyak kulihat anak-anak yang berkeliling kampong membawa keriang bandong. Lampu listrik kelap-kelip menyerupai lampu natal tampaknya di beberapa rumah sudah menggantikan fungsi keriang bandong ini. Namun, keriang bandong kini sudah naik kelas, karena sudah ada yang mulai memperjualbelikannya secara massif dan juga telah difestivalkan.