Sunday, March 30, 2008

Mbelet




Pada awal April mendatang, basis penugasanku akan berpindah dari Medan ke Tarutung, sebuah kota cantik di Tapanuli. Untuk hampir selama hampir tiga bulan terakhir, aku berkantor di Medan dengan intensitas perjalanan yang cukup tinggi ke Tapanuli. Cukup melelahkan memang. Pilihan pindah basis akan sangat membantuku mengurangi waktu perjalanan. Maklum lah, medan perjalanan di sini sangat berat bagiku, yang dibesarkan dan lebih akrab dengan alam di pesisir barat Kalimantan yang cenderung lebih datar. Sudah beberapa kali terlampaui ‘boiling point’ perutku, yang terkadang amat menganggu perjalanan.


Kantorku di Medan terletak sangat strategis, karena kesangatstrategisnya ini, terkadang sangat banyak keistimewaan yang diperoleh. Jika di mana-mana di Sumatera bagian Utara mengalami krisis kelistrikan dan di mana-mana di Kota Medan mengalami krisis penyediaan air bersih, kantorku dan para tetangganya tak sedikitpun mengalaminya. Tak adil rasanya.Pertama kali berkeliling di sekitar lingkungan kantorku, muncul pertanyaan di benakku, apa gerangan kerja beberapa tetangga yang ada di sekitar kantorku itu. Rumah-rumah mereka berukuran istana dan tanpa mempertimbangkan rasio penghuni, dengan pagar menjangkau langit dan berkamera di beberapa sudut rumah. Gilanya lagi, beberapa kendaraan ‘super mewah’ keluar masuk ke rumah-rumah tersebut. Ini Medan Bung! Bah, biarlah, suka-suka mereka saja memamerkan kemewahan. Toh, kalo kecemburuan semakin meruncing, mereka juga yang akan kena dampaknya kan.


Ada sebuah tempat di dekat kantorku yang amat menarik perhatianku, yakni tempat yang di sebut warkop harapan. Beragam makanan di jual di warung-warung kecil yang tumbuh bertautan di pinggir jalan. Jadi, jangan salah kaprah dengan penggunaan warkop, yang lebih kerap digunakan untuk warung yang menjual kopi dan teh semata. Hebatnya lagi warkop ini beroperasi 24 jam. Bagiku sangat membantu saat terpaksa harus berlembur ria menggejar tenggat kerjaan.


Di siang hari, di beberapa sudut tempat ini dapat dengan mudah kita jumpai para pelajar yang membolos dari pelajaran di sekolahnya. Ah, ingatanku kembali mengenang masa di bangku SMA di akhir 80-an. Membolos atau istilah kampungku dulu mbelet, merupakan sebuah kenakalan jamak dalam menunjukkan eksistensi diriku dan teman-temanku. Walaupun tak sering kali kami lakukan, tapi mbelet menjadi selingan membunuh kejenuhan ketidakkreatifan guru-guru kami dulu.


Selain bersembunyi di rumah teman yang orang tuanya sedang tak berada di rumah, ada tempat favorit lain yang sering kami jadikan tempat mbelet, yakni kantin Bu Juju, yang ada di depan SMP 3 di Jalan Kalimantan. Dulu kantin ini masihlah kantin yang sangat sederhana dan hanya buka saat jam sekolah istirahat. Tempatnya cukup terlindung dan pengelola kantin tak pernah hirau dengan kelakuan kami. Bukan hanya teman-teman sekolahku di SMA 1 saja yang menjadikannya tempat mbelet, kerap kali di tempat ini kujumpai teman-teman dari sekolah lain, seperti: SMA 3, SMA 8 (sekarang SMUN 7) dan SMTI. Tak heran jika ada gelar istimewa yang kami berikan pada kantin ini, yakni SMA 9.


Kini, kantin ini sudah menjadi sangat populer di sebagian orang Pontianak. Jam operasinya pun sudah lebih panjang. Makanan yang dijual tak lagi hanya bakwan (yang dulu merupakan makanan favorit kantin ini) dan sudah amat beragam. Iklan promosi beragam produk sudah mewarnai pojok-pojok kantin, bahkan beberapa even organizer sering menjadikannya tempat penjualan tiket pertunjukan. Banyak pegawai, mahasiswa dan ibu-ibu yang menunggu anaknya bubaran sekolah yang kini menjadikannya titik bertemu menghabiskan waktu. Mungkin sambil mengenang masa lalu mereka dulu waktu suka mbelet di kantin ini.