Saturday, May 13, 2006

Main Bal

Di nusantara ini, sepak bola menjadi sebuah permainan yang merakyat. Hampir di seluruh penjuru negeri, permainan ini selalu dimainkan oleh anak negeri, baik yang masih anak-anak maupun telah dewasa. Walaupun, di tingkat dunia, tim kesebelasan Indonesia hampir tak pernah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Anak negeri ini baru dua kali merasakan perhelatan kancah dunia, yakni pertama pada Piala Dunia 1938 dan pada Olimpiade Melbourne tahun 1962. Jika di perhelatan pertama, tim tersebut masih menggunakan nama Nederland Indies, yang mayoritas pemainnya merupakan peranakan Belanda, dicukur habis oleh lawannya di penyisihan pertama. Di kesempatan kedua, tim Indonesia baru tersingkir di babak perempat final melawan Rusia, yang saat itu di perkuat kiper terbaik sepanjang masa Lev Yelshin.
Di kampung tercintaku, Pontianak, permainan sepak bola lebih dikenal dengan istilah main bal. Seperti halnya negeri ini, tim sepak bola asal kotaku tak pernah memberi hasil yang mengembirakan di tingkat nasional. Jangankan bermain di divisi utama, sejak dulu klub perserikatan di kotaku tak pernah beranjak dari divisi dua. Entah dimana salahnya. Padahal, pada jaman Porkas dan SDSB masih diperbolehkan, Kota Pontianak menjadi salah satu daerah penyumbang utama undian berhadiah yang mendukung perkembangan utama olah raga Indonesia di era 1990-an itu. Tampaknya judi yang berhubungan dengan sepak bola lebih mengemuka dibandingkan keahlian atau kemampuan bermain sepak bola di Pontianak. Prestasi terbaik sepak kola di kotaku, seingatku pernah terjadi di saat PSSI Kalbar dipimpin oleh Hakim Bismar Siregar, yang kala itu sedang menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat. Saat itu, tim junior PSSI Kalbar cukup disegani di tingkat nasional. Beberapa pemain juniornya bahkan sampai direkrut oleh klub Yanita Utama, yang menjadi tim elit Galatama, kompetisi semi profesional pada masa itu.
Seperti halnya anak-anak lainnya, main bal merupakan salah satu kegemaranku di masa kecil. Dulu, dikotaku cukup banyak kompetisi anak-anak yang cukup unik. Dimana para pemainnya dibatasi oleh tinggi badan. Seingatku, ada beberapa tingkatan tinggi badan yang pernah kuikuti, yakni 1,35 meter, 1,45 meter dan 1,50 meter. Pembuat aturan tinggi badan yang diperbolehkan pada suatu gelaran adalah penyelenggara kegiatan. Dalam setiap awal pertandingan, seluruh pemain akan disuruh berdiri berjajar di depan sebuah pintu sederhana, setinggi ukuran yang ditentukan. Selanjutnya satu persatu, para pemain disuruh untuk berdiri tepat di bawah pintu tersebut. Kemudian panitia dan perwakilan kedua tim akan memastikan pemain yang bersangkutan melewati atau tidak ukuran yang ditentukan. Biasanya, kalau ada pemain yang ’mencurigakan’ tinggi badannya melewati batas yang ditentukan, pemain tersebut akan diminta untuk membuka bajunya, karena terkadang banyak yang berbuat bangsat (curang) dengan mengikat perutnya, sehingga menjadi lebih pendek. Akibat tak ada batasan usia, ada juga orang dewasa yang menjadi pemain. Orang-orang yang ketu’ (kecil tapi tua) ini kerap kali membuat anak-anak seperti aku takut terkena tebak (tackling)-an mereka. Melihat betis mereka yang sudah betelo’ (besar dan memiliki telor) dan mukanya yang besomet (berkumis) saja, aku sawan (tak berani) ngelecek (men-dribling) untuk melewati mereka.
Kompetisi yang demikian terkadang dapat berlangsung lebih dari satu bulan. Dalam setiap gelaran, biasanya digunakan sistem setengah kompetisi. Jika pada sebuah pertandingan berakhir seri, maka pemenang akan ditentukan dengan adu tembak dua belas pas (adu penalti). Namun, pada beberapa kali kesempatan, pernah pula kualami pemenang pertandingan yang akhirnya ditentukan dengan undian. Jarang sekali, lapangan yang digunakan berukuran standar. Sebagian besar menyesuaikan lapangan yang tersedia, terkadang lapangan yang digunakan adalah ladang ubi, yang tentunya bergelombang. Dan membuat kami pemainnya, menjadi kesulitan baik untuk bekejar (berlari) ataupun mengontrol arah bola.
Waktu pertandingan pun tak seragam. Ada yang menggunakan sistem 2x30 menit dan ada pula yang hanya 2x20 menit. Walau demikian, bagiku setiap ada pertandingan yang demikian, wajib hukumnya untuk menonton atau berpartisipasi sebagai pemain. Beberapa kali, aku di-bon (dikontrak) untuk memperkuat sebuah tim. Biasanya, kalau tim yang kuperkuat menang, barulah bayaran untukku diberikan. Tak banyak memang paling hanya cukup untuk membeli beberapa mangkok bakso atau mie tiaw (kwetiau).
Untuk memperkuat sebuah tim, tidaklah terlampau sulit. Jika pada beberapa permainan kita dilihat bagus, maka saat kita datang ke tempat pertandingan ada saja bos atau cukong sebuah tim yang menawarkan untuk bergabung. Para bos inilah yang akan mengeluarkan pendanaan dalam mengikuti suatu gelaran, mulai dari mendanai pendaftaran, memberi makanan atau minuman selama pertandingan, menyediakan transportasi untuk pendukung dan membayar honor pada pemain yang di-bon-nya. Kalo berharap dari hadiah yang disetidakan oleh penyelenggara, tentunya tak banyak orang yang mau menjadi bos. Namun, sudah merupakan rahasia umum, para bos ini adalah juga penjudi. Mereka akan menjudikan pertandingan yang dilakukan tim dukungannya. Dan biasanya, tak perlu menjadi juara, karena hasil yang mereka peroleh dari sebuah permainan, jauh lebih besar.
Karena sangat berharap untuk menang, tak jarang para bos ini menggunakan cara-cara tak sportif. Cara yang paling banyak dilakukan adalah melalui ’perdukunan’. Aku sendiri tak meyakininya. Bagiku, cara yang demikian sengaja dihembuskan untuk menjatuhkan mental lawan tanding. Memasang jimat di gawang, memangil hantu laut, memakai dukun dari tanah kayong (Ketapang) dan memantrai para pemain adalah istilah yang jamak kudengar setiap awal pertandingan. Pada masa istirahat, sebagian besar para bos bukannya memberikan instruksi strategi permainan, karena kuyakin mereka tak memahaminya, melainkan memberikan anjuran-anjuran yang menurut mereka bermanfaat untuk menawarkan ilmu pihak lawan. Membalikkan seragam, mengencingi celana, meludahi gawang dan mengoleskan ’lemak babi’ di kaki merupakan beberapa anjuran yang kuingat pernah diintruksikan oleh para bos.
Kalau mengingat-ingat hal di atas, wajar saja sepak bola di kampungku tak pernah memberikan prestasi yang menggembirakan. Sementara di belahan dunia lain, orang lebih mementingkan strategi dan kemampuan para pemain, di kampungku masih banyak yang mengandalkan alam gaib dalam permainan sepak bola. Padahal, tentunya prilaku yang demikian dapatlah dikategorikan syirik. Entahlah.

Thursday, May 11, 2006

Biku, suban dan tungau

Saat duduk di kelas empat hingga masa akhir sekolah dasar, tak ada waktu yang paling kunanti, selain saat sepulang sekolah hingga menjelang petang hari. Hampir setiap hari, pada waktu-waktu tersebut selalu kuhabiskan bermain bersama teman sebaya. Sekolah bukan lah sesuatu yang terlalu membebani kami pada kala itu. Hal ini kulihat sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup pada masa ini, yang hampir tiap hari selalu disibukkan dengan pekerjaan rumah, kursus atau pelajaran tambahan. Mungkin ini diakibatkan persaingan yang semakin hari semakin ketat atau ambisi para orang tua untuk menjadikan anaknya menjadi manusia super.
Kala itu, seingatku seakan tak ada hari yang membosankan. Tak peduli hari sedang hujan badai ataupun panas bedengkang (terik yang amat sangat atau panas yang membakar), ruang bermain kami selalulah di luar rumah. Kondisi pemukiman di Pontianak kala itu pun masih sangat mendukung. Lapangan kosong masih banyak dijumpai. Kolong-kolong gertak (jalan perumahan berbentuk jembatan yang bersambungan), badan parit dan tepi tembok (jalan raya beraspal) yang belum ramai dilalui kendaraan merupakan ruang yang seakan disediakan bagi kami untuk bermain. Anak-anak sekarang yang dibesarkan di Pontianak mungkin tak lagi memiliki keramahan demikian. Makin banyak lokasi perumahan yang ada telah bermetamorfosa menjadi kompleks elit yang dipisahkan pagar-pagar tinggi. Sebaliknya diperkampungan padat, lalu lalang kendaraan mengakibatkan banyak orang tua takut membiarkan anaknya bermain keluar rumah. Wajar saja, jika permainan video game atau ragam permainan di game zone menjadi hari-hari mereka saat ini.
Bermain di luar rumah bukannya tak beresiko. Namun, banyak sekali pelajaran dan kenangan indah, khususnya menyangkut pertemanan dan solidaritas yang kuperoleh. Ada beberapa ’penyakit’ yang kerap kami alami akibat bermain di luar rumah, yang mungkin anak-anak sekarang tak lagi mengenalnya. Biku, suban dan tungau adalah beberapa contoh penyebab penyakit tersebut.
Biku adalah pembengkakan di ujung jari jempol kaki. Pembengkakan ini diakibatkan masuknya lumpur ke sela-sela kuku di jempol kaki. Terkadang pembengkakan yang terjadi dapat berlangsung berhari-hari dan mengakibatkan kaki sulit diinjakkan. Nah, jika sedang terkena penyakit ini, tawaran teman-teman bermain bal (sepak bola) akan kutolak mentah-mentah. Sementara itu, terkena suban merupakan derita yang sering kualami akibat main di kebun-kebun atau bermain di parit. Suban merupakan istilah bagi potongan kayu ataupun onak (duri) yang menusuk bagian tubuh kita. Nah, jika tidak segera dikeluarkan dapat berakibat pembengkakan. Suban yang paling ditakuti adalah suban kayu belian (kayu ulin/ Eusideroxylon zwageri), yang banyak digunakan sebagai titi (jembatan), gertak ataupun barau (dinding parit untuk menghindari longsor), karena biasanya sangat tajam dan sulit dikeluarkan. Selain memperbesar lubang masuk suban dengan menggunakan jarum atau semit (peniti), ada cara lain mengeluarkannya. Yakni dengan menempelkan bawang putih pada lubang masuk suban selama 2-3 menit. Memang suban tersebut tidak akan keluar secara langsung, namun dalam beberapa jam ke depan, suban tersebut dengan sendirinya akan keluar.
Tungau adalah binatang kecil yang hidup di air, berbentuk sangat kecil (ukurannya hanyalah sebuah titik) dan berwarna merah muda. Bila tungau menempel pada beberapa bagian tubuh, ia akan menempel dengan lekat dan mengakibatkan gatal pada daerah yang bersangkutan. Bagian tubuh yang menjadi tempat favoritnya menempel adalah pusar (pusat), ketiak dan kemaluan. Biasanya kalau terkena tungau, kami sering bergantian membuangnya dari bagian tubuh kami, khususnya pada bagian ketiak dan pusar. Caranya cukup mudah, yakni dengan mencari dimana tungau itu melekat dan selanjutnya mencongkelnya dengan menggunakan jarum. Namun, jika tungau tersebut menyerang kemaluan (khususnya bagian scrotum) kami, yang kala itu sebagian besar belum lagi disunat, agak malu juga meminta tolong pada teman. Akhirnya, terpaksalah harus mengeluarkan sendiri dengan bantuan kaca untuk mencari lokasi serangan binatang kecil ini.
Walau seingatku berkali-kali aku terkena ’penyakit-penyakit’ ini, tak pernah jera aku untuk tetap bermain ke luar rumah. Karena kalaupun aku bertahan di rumah saja, tak banyak juga permainan dan hiburan yang bisa kunikmati. Tidak seperti anak sekarang, yang dininabobokan beragam siaran televisi, film video, video game dan beragam mainan lainnya, yang pengamatanku lebih mendorong mereka menjadi lebih soliter dan kurang solider. Mudah-mudahan saja pengamatanku ini salah.

Sunday, May 07, 2006

Kapitol


Tak dinyana, pada sebuah warung kopi di Ulee Kareng, Banda Aceh, yang berpisah pulau dengan Pontianak, aku bercakap tentang kota itu. Anehnya lagi, kawan berbincangku, bukan lah orang Pontianak. Walaupun saat ini cukup banyak pekerja sosial dari Pontianak, yang mengais kehidupan di tanah yang terkena Tsunami ini, seperti halnya diriku.
Teman bicaraku ini seorang survivor dari bencana maha dahsyat itu, yang usianya kuperkirakan hampir mendekati 70-an tahun. Dulu, ia kerap ke Pontianak, karena pada masa era 1960 sampai 1970-an, ia bekerja sebagai awak kapal pada sebuah kapal nusantara yang rutin merapati Pelabuhan Sabang. Menurutnya, pada beberapa kali kesempatan, kapal dimana ia bekerja sempat merapat di Pontianak. Namun, sejak ’dimatikannya’ peran Sabang dalam pelayaran internasional, ia pun kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi nelayan. Ulee Lhe yang terletak di bagian pantai Kota Banda Aceh dipilihnya sebagai tempat bermukim.
Apakah Kapitol masih ada, demikian pertanyaan pertama yang diajukannya kepadaku, saat kami bercengkrama ditemani beberapa gelas sangger (sejenis kopi susu khas Aceh). Sejenak kutersentak dan mengingat-ingat apa yang dimaksudkan Kapitol oleh orang tua yang hampir sebagian besar keluarganya tersapu Tsunami ini. Hanya ada satu tempat bernama Kapitol di Pontianak yang ada dibenakku, yaitu nama sebuah bioskop yang berada di sekitar pasar tengah, yang kemudian sebelum tutup sempat berganti nama dengan Menara. Untuk meyakinkan kutanyakan kembali kepadanya, apakah Kapitol yang dimaksud adalah nama sebuah bioskop. Dengan anggukan pelan, ia mengiyakan pertanyaanku. Selanjutnya, kujelaskan padanya bahwa sejak akhir 80-an, bioskop itu sudah tak beroperasi, kalah bersaing dengan masuknya jaringan Bioskop Grup 21. Dan kala terakhir aku melewati bekas bangunan bioskop itu, gedungnya telah berubah berfungsi sebagai gudang dan tampaknya akan dilakukan pembongkaran. Dengan lirih, ia menyayangkan kondisi itu.
Tampaknya, ia memiliki begitu banyak kenangan pada bioskop itu. Wajar saja, karena bioskop itu adalah merupakan tempat hiburan yang paling dekat dengan pelabuhan Seng Hie, pelabuhan laut yang ramai pada masa itu. Sebagai pelaut yang dapat berhari-hari berlayar di laut, bioskop biasanya merupakan tempat menghibur diri saat kapal sedang merapat dan bongkar-muat. Apalagi, pada masa itu, film nasional kita masih berada pada masa keemasan.
Kukenang kembali masa kecilku, karena sulit mencari hiburan, bioskop menjadi salah satu yang terfavorit. Ada banyak bioskop yang menjamur di penjuru kota. Di tengah kota, selain Kapitol atau Menara, ada beberapa bioskop lainnya, diantaranya: Pontianak Teater, Abadi Teater, Kapuas Teather dan Khatulistiwa Teater. Beberapa bioskop lainnya berada di pusat pemukiman, seperti: Bioskop Lido di Sumur Bor, Bioskop Jeruju di Jeruju, Garuda Teater di Sungai Jawi, Bioskop Nusa Indah di Siantan, Jeruju Teater di Jeruju dan Kota Baru Teater di Kota Baru.
Hampir semua bioskop itu, berguguran diera 80-an, akibat masuknya Grup 21, milik Sidwikatmono, yang menggunakan strategi cineplex (cinema complex). Guna mendukung strateginya itu, kelompok usaha ini, yang pemilikinya masih berhubungan darah dengan Ibu Negara pada waktu itu, memanfaatkan kedekatan dengan penguasa untuk memperoleh kewenangan monopoli dalam distribusi film. Pada masa itu, Kota Pontianak memiliki 4 cineplex, diantaranya: Kapuas 21 di Kompleks Kapuas Plaza, Dinasti 21 di pertokoan di Jalan Tanjungpura dan Studio 21 di Kompleks Nusa Indah Plaza.
Kejayaan kelompok 21 ini tak berlangsung lama, hanya bertahan kurang dari 10 tahunan. Pada awal 1990-an, perkembangan teknologi memungkinkan masyarakat untuk menikmati film di rumah atau dikenal juga sebagai home studio (bioskop di rumah) melalui perangkat pemutar cakram (compact disk player). Apalagi, di negara yang belum begitu menghargai hak atas kekayaan intelektual ini, penggandaan compact disk yang menjadi perangkat pendukungnya amat mudah diproduksi secara illegal. Keadaan ini diperparah dengan deregulasi pertelivisian, yang mencabut monopoli TVRI sebagai satu-satunya lembaga penyiaran televisi. Akibatnya bermunculan televisi swasta, yang juga menyajikan banyak hiburan bagi warga kota.
Kini, bangunan-bangunan bioskop masa lalu, hampir seluruhnya berubah fungsi. Bioskop Abadi di persimpangan Diponegoro dan Tanjungpura telah berubah menjadi gedung perbankan milik Bank Internasional Indonesia, Bangunan Pontianak Teater, walau hingga kini lokasi tersebut masih digelari banyak orang sebagai PT yang merupakan singkatannya, telah berubah menjadi Supermaket Kaisar yang terkenal menjual barang-barang konsumsi berasal dari Malaysia. Perubahan menjadi supermaket juga terjadi pada beberapa bekas bangunan bangunan bioskop lainnya, seperti: Garuda Teater yang menjadi Supermaket Garuda Mitra dan Jeruju Teater yang menjadi Supermaket Metro Daya. Ruang bekas Kapuas Teater di lantai atas komplek pertokoan Kapuas Indah, beberapa waktu belakangan dipergunakan sebagai arena sepak bola ruangan.
Bangunan eks Bioskop Lido, dipersimpangan Jl. Danau Sentarum dan Jl. Dr. Sutomo, telah lama dibongkar dan di atasnya telah berdiri beberapa rumah toko. Bioskop Kota Baru pun telah pula berubah pemanfaatannya. Setelah sebelumnya sempat menjadi tempat latihan aerobik, sejak beberapa tahun belakang bangunannya telah menjadi persekolahan teologi. Dan yang paling malang adalah dialami bekas bangunan Khatulistiwa Teater, yang terletak tepat di jembatan penyeberangan satu-satunya di Pontianak di Jl. Tanjungpura. Bangunan bioskop ini dipagari dengan seng dan tak lagi tampak bangunannya. Fungsi bangunannya tidak jelas, sementara halamannya dimanfaatkan Bank Mandiri sebagai tempat parkir pelanggannya.
Di banyak kota, bioskop dan gedung pertunjukan kerap menjadi ciri khas dan penanda (landmark) dari kota yang bersangkutan. Selain itu, bangunan-bangunan tersebut banyak meninggalkan kenangan bagi warga kota dan pengunjung yang mendatanginya. Dan tentunya kenangan tersebut, yang mungkin saja merupakan kenangan manis ataupun pahit, akan menguap seiring dihancurkan atau dirubahnya bangunan tersebut. Tak heran, banyak otoritas kota yang berupaya menjaga keberadaannya. Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah Kota Pontianak. Telah banyak landmark kota yang hilang. Penjara Sungai Jawi, Arena Remaja, Persekolahan Kampung Bali dan Puskesmasnya, Gedung Pancasila dan Komplek Tangsi Militer merupakan beberapa contoh landmark di Pontianak, yang telah tak dapat lagi kita lihat kini. Sementara, bangunan SMP Negeri 1 tempatku dan juga Pak Walikota sekarang bersekolah dahulu, kabarnya juga sedang dalam antrian untuk renovasi (bahasa yang lebih halus dari dibongkar), setelah sebelumnya diberitakan akan digusur. Semoga pembongkaran yang dilakukan tidak merubah terlampau banyak ciri khas lamanya.
Nah, kita tunggu saja, landmark mana lagi yang akan menyusul untuk dihancurkan atau diubah.