Wednesday, April 19, 2006

Keramak


Ini nama binatang yang sekarang amat jarang untuk ditemui di Pontianak. Binatang dari rumpun Crustaceae ini seakan telah kehilangan ekosistem ideal tempatnya berbiak dan bermukim. Dahulu keramak amat mudah dijumpai di dinding-dinding parit yang masih berupa tanah ataupun di antara gertak-gertak yang menghubungkan jalan-jalan di kota ini. Ketika terjadi perubahan perilaku pengelolaan kota, yang dimulai sejak kepemimpinan Walikota Madjid Hasan, populasi keramak pun akhirnya secara drastis menurun. Sejak masa itu parit-parit diperkecil, dinding-dinding parit diperkuat dengan semen, sebagian besar gertak digusur dan diganti dengan jalan beraspal ataupun bersemen, yang tentunya harus didahului dengan penimbunan tanah. Para walikota selanjutnya seakan mengekalkan pendekatan yang sangat tidak adaptif dengan kondisi lingkungan Pontianak ini.
Dulu, pemerintah kolonial dalam melakukan perencanaan kota dengan sangat sadar mempertimbangkan kondisi geografis kota yang berada tak lebih dari 5 meter dari permukaan laut ini. Sehingga desain drainase kota yang dirancang adalah pembuatan saluran drainase yang lebar dan tak perlu dalam. Prinsip utamanya untuk memperluas daerah penampungan air, sehingga saat air laut pasang ataupun air hujan turun, kelebihan air dapat tertampung. Penggunaan gertak untuk jalan-jalan pemukiman dan parit yang lebar merupakan beberapa bentuk implementasinya. Tak heran, jika kita kenang Komplek Tangsi/ Asrama Sudirman (sejak akhir 1980-an telah digusur dan sekarang berubah menjadi Pasar Sudirman), sebagian besar perumahan di komplek tersebut berada di atas sebuah danau kecil. Atau, perhatikan parit-parit utama, seperti Sungai Bangkong, Sungai Jawi, dan Parit Tokaya, luasnya dahulu dapat mencapai belasan meter, hingga dapat dilalui oleh sampan.
Kehilangan keramak, bagiku lebih terasa dibandingkan kehilangan ikan gendang-gendis, belut ataupun ikan jolong-jolong. Walaupun mungkin ketiganya merupakan indikator penting bagi tingkat kesehatan sebuah ekosistem parit. Keramak memiliki arti tersendiri bagiku. Ada permainan masa kecilku yang sangat terkait dengan keramak, yaitu sadu atau adu keramak. Memang kalau disadari sekarang, permainan itu tidak memiliki pri kebinatangan, tapi permainan tersebut membuat diriku memahami ekosistem parit. Untuk dapat main adu keramak, tentunya aku haruslah memiliki keramak. Dan untuk itu aku harus pula memancingnya. Cara yang paling sering kugunakan adalah dengan menggunakan getah gelang (karet gelang) berwarna merah sebagai umpannya. Getah gelang tersebut kuikat membentuk seperti kupu-kupu dengan menggunakan tali layangan pada sebuah ujung lidi. Nah, selanjutnya pancing tersebut dimasukkan ke lubang keramak, jika ada, biasanya sang keramak penghuni lubang tersebut akan mencengkram dengan capitnya yang merah. Untuk menghindari agar capitnya tidak patah atau keramaknya terlepas, pancing tersebut harus ditarik pelan-pelan sampai keramak tergantung dan dapat dimasukkan ke botol atau plastik penampungan.
Adu keramak sendiri biasanya kerap dilakukan pada saat musim kemarau. Di saat air di parit mengering dan banyak keramak yang berkeliaran sehingga mudah untuk menangkapnya. Botol kaca merupakan arena yang dipergunakan untuk adu keramak. Keramak yang akan diadu dimasukkan ke dalamnya. Biasanya pertarungan akan cukup lama dan penuh dengan buih yang dikeluarkan oleh kedua keramak petarung tersebut. Kemenangan pertarungan ditentukan dari keramak mana yang berhasil mematahkan kedua capit lawannya.

Monday, April 03, 2006

TEMBALAK


Kata ini seakan tiba-tiba saja muncul dari alam bawah sadarku, saat beberapa waktu lalu pulang ke kampung halaman tercinta. Masa libur yang dianjurkan (baca: setengah dipaksakan) oleh pemerintah, untuk menghindari penyimpangan Harkitnas (hari kejepit nasional), ternyata bertepatan dengan kunjungan rutin saudara-saudara Tionghoa asal Pontianak untuk bersembahyang kubur. Akibatnya, harga tiket pesawat ke Pontianak melonjak berkali lipat. Kalau biasanya dengan enam ratus ribuan sudah bisa mendapatkan tiket bolak-balik, saat-saat begitu ternyata jumlah sedemikian hanyalah cukup untuk satu kali jalan saja. Walaupun di tiket yang diberikan tertera nominal harga yang lebih kecil jauh dari yang harus dibayarkan.
Permainan busuk antara otorita bandara, calo dan perwakilan maskapai penerbangan merupakan penyebab dari kenaikan harga yang demikian. Memang secara teoritis, akan terjadi peningkatan harga seiring dengan meningkatnya permintaan. Tapi kalau saja tak ada ’kolusi’ diantara mereka, tentunya lonjakan harga tiket itu tidak lah akan setinggi demikian.
Nah, kala sedang menunggu keberangkatan kembali ke Jakarta di Bandara Supadio, yang saat itu sedang direnovasi, sehingga lebih mirip kapal pecah atau terminal bis itu, aku merenungi kebusukan pertiketan transportasi yang terjadi. Kayaknya, kita semua sudah mengetahuinya, seperti halnya korupsi yang berlangsung, baunya bisa kita endus, tapi sulit sekali menyelesaikan. Cukup lama memikirkan tentang kebusukan inilah, yang mengakibatkan kata tembalak kembali menyeruak di benakku. Aku mengenang saat masih suka mencecak lumpur dan berenang di parit, tembalak sering kali aku dan teman-temanku persalahkan. Jika seseorang dari kami buang angin (bace: kentut) dengan bau busuk, maka kata-kata tembalak lah yang meluncur dari mulut yang lainnya. Wajar saja, saat itu kami sering makan secara tak teratur dan lebih banyak main, sehingga bau yang keluar itu mirip dengan baunya tembalak. Tembalak sendiri adalah sebutan khas orang Pontianak kepada telur yang tidak ditetaskan dengan sempurna, sehingga membusuk. Dan biasanya p***m**-nye merupakan kata ikutan yang paling pas untuk menyertai tembalak, bisa saja sebelum ataupun sesudahnya. Hehehehe.