Monday, November 06, 2006

Pisang Goreng Pontianak

Pemerintah Kota Pontianak selama beberapa tahun terakhir telah menghamburkan dana yang cukup besar untuk memperkenalkan dan mengembangkan produk lidah buaya pada pasar. Namun rasanya, hasil yang diberikan tidak lah terlampau signifikan. Nyatanya, hingga saat ini tidaklah banyak permintaan pada produk ini. Memang pasar dapat menjadi satu pengadilan yang paling jujur pada suatu produk. Apabila disenangi, produk tersebut akan eksis di pasaran, sementara jika tidak digemari, iapun akan sedikit demi sedikit hilang dari peredaran. Intervensi pemerintah seakan tidak berarti dalam mengendalikan pasar tersebut dan beberapa pihak (khususnya kaum kapitalis) selalu mengagungkan pasar sebagai sesuatu yang paling demokratis.

Sejak beberapa bulan terakhir, kuperhatikan muncul fenomena baru di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yaitu menjamurnya pedagang produk makanan baru, yang bertajuk Pisang Goreng Pontianak. Hampir di seluruh penjuru angin, kios permanen ataupun semi permanen berspanduk Pisang Goreng Pontianak bermunculan. Antrian pembeli pun tampak terjadi pada beberapa tempat penjualan. Kayaknya, hal ini bertolak belakang dengan air lidah buaya produk yang digadang-gadang pemda Pontianak, yang ternyata sangat jarang tampak di menu-menu tempat makan ataupun restoran.

Sebagai orang yang dibesarkan dan dilahirkan di Pontianak serta penggemar kuliner (tak heran kan, jika diusiaku yang baru di awal 30-an ini aku sudah terkena jantung koroner), muncul rasa penasaranku untuk lebih mengetahuinya. Setahuku, agak sulit membayangkan pisang goreng mana di Pontianak yang menjadi anutan atau pattern. Sebab hampir tak ada pedagang pisang goreng di Kota Pontianak yang popularitasnya melebihi pedagang lainnya. Beda halnya dengan beberapa makanan khas lain, yang hampir warga di penjuru kotanya tahu ada pedagang terpopulernya. Seperti halnya, bakwan yang mengenal bakwan Sungai Jawi atau bakwan Bu Juju di dekat SMP 3, mie tiaw (kwee tiau) yang mengenal mie tiaw Antasari atau Apollo, es krim yang mengenal es krim Petrus, sate yang mengenal sate Antasari, bubur dan air tahu yang mengenal bubur PT (Kaisar), gorengan keladi yang mengenap keladi Jenderal Urip, pengkang (lemper bakar ketan dengan isi tiram) yang mengenal pengkang Purun, atau nasi goreng yang mengenal rumah makan Siti Fatimah.

Setahuku ada beberapa penjual pisang goreng atau gorengan yang sudah lama dan dikenal, tapi tak satu yang popularitasnya melebihi yang lainnya, seperti: gorengan Pasar Kota Baru, gorengan Gajah Mada (depan KFC), gorengan Palapa, gorengan depan Rumah Sakit Jiwa di Jl. Alianyang, gorengan depan Rumah Sakit Antonius lama di Jalan Merdeka Barat, gorengan Setia Budi, gorengan Warung kopi Windy (?) di Jl. Gajah Mada dan masih banyak lagi penjualan gorengan lainnya yang mayoritas dagangan yang dijualnya adalah pisang goreng. Hampir di setiap sudut pemukiman padat, penjual pisang goreng tidaklah sulit untuk ditemukan. Kalau dilihat dari etnisitasnya, para penjual gorengan itu pun beragam, ada yang tionghoa, melayu bahkan madura.

Walau demikian, ada satu penjual gorengan yang cukup unik, yakni di warung kopi obor, dimana pisang goreng disajikan bersama-sama dengan krim srikaya dan tentunya kopi obor khas pontianak. Nikmat sekali rasanya, terutama jika kita sembari memperhatikan diskusi para penikmat kopi, yang berbicara keras dan membahas segala rupa topik.

Agak berbeda dengan kebanyakan pisang goreng di Jawa, salah satu kekhasan pisang goreng Pontianak adalah pada pisangnya yang menggunakan pisang kepok atau dikenal juga dengan pisang nipah. Pisang ini dipotong-potong tipis dan disusun seperti kipas, kemudian dicelupkan dalam campuran air dan tepung, baru setelah itu digoreng hingga matang.

Sekitar 1980-an, ada satu penjual pisang goreng yang legendaris, yakni pisang goreng Gang Padi. Letaknya tepat di pinggir parit di depan Puskesmas Gigi dan Mata di Jalan Prof. Dr. Hamka atau dahulu dikenal dengan Gang Padi ini. Seingatku, jangankan pisangnya, remah-remah gorengannya pun tak pernah bersisa. Hampir setiap malam antrian panjang pembeli mengantri menunggu untuk dilayani. Bahkan, tak jarang pelancong dari luar kota yang menggunakan pesawat terbang membawanya sebagai buah tangan pada sanak keluarga di tempat asal. Entah mengapa, pada akhir 1980-an, pedagang pisang goreng ini tak lagi berjualan. Banyak cerita beredar seputar tutupnya penjual pisang goreng yang tak jauh dari tempat berdagangnya itu. Yang pasti, hingga saat ini, pisang goreng yang rasanya setara dan sekualitas pisang goreng Gang Padi tak lagi pernah hadir kembali.