Tuesday, March 27, 2007

Nonggok!

Kalau anak generasi MTV sekarang lebih mengenal istilah nongkrong, istilah yang dipopulerkan oleh salah stasiun televisi ini untuk menyapa para pemirsanya, maka pada masa remajaku dulu di Pontianak, hampir 15 tahun yang lalu, nonggok merupakan istilah populer yang setara artinya.

Nonggok, perkiraanku berasal dari kata dasar onggok yang artinya tumpuk yang memiliki kesan dimensi waktu yang cukup lama di dalamnya. Ungkapan ini cukup tepat untuk menggambarkan kondisi kongkow-kongkow (kumpul-kumpul) ala orang Pontianak, yang pastilah tidak dalam waktu sebentar. Tidak nonggok namanya kalau tidak menghabiskan waktu yang lama.

Ada beberapa tempat nonggok yang biasa menjadi langganan aku dan teman sebayaku dulu. Nonggok di depan gertak (jembatan) atau di pinggir jalan di depan gang, merupakan tempat ideal dalam menghabiskan akhir pekan kami. Biasanya, waktu idealnya adalah sesaat setelah usainya Adzan Isya hingga menjelang adzan Subuh tiba. Topik obrolan bisa menjangkau isu apa saja. Terkadang permainan gitar seorang teman dan nyanyian sumbang dari suara kami, menjadi selingan acara ini.

Sesuatu yang pasti akan ada dalam kongkow-kongkow ini adalah sakat-menyakat atau cela-celaan. Aturan sakat-sakatan ala anak Pontianak cukup sederhana, siapa yang berani menyakat orang lain maka haruslah siap disakat dan tidak boleh tersinggung. Walaupun terkadang sakatan yang disampaikan tersebut dapat merambah pada hal-hal yang paling pribadi. Nah, kalau ada seorang teman yang senang menyakat, tapi tersinggung saat disakat orang. Istilah yang akan kami labelkan pada teman yang demikian adalah pendek tongkeng (yang arti harpiahnya adalah ekor ayam) atau pemarah. Jadi kalau mau nonggok, kita haruslah jangan pendek tongkeng!

Setelah aku agak dewasa, pada saat duduk di bangku sekolah lanjutan atas, tempat nonggok favorit menjadi bertambah, tak lagi hanya nonggok di depan gang atau dipinggir gertak. Tempat tersebut adalah di warung kopi. Dulu di zamanku SMA, ada sebuah warung kopi favoritku, yakni Warung Kopi Aloha, yang terletak di Jl. Gajah Mada. Namun beberapa tahun yang lalu, warung kopi ini telah berubah menjadi sebuah toko buah-buahan.

Budaya kongkow-kongkow di warung kopi merupakan budaya yang khas daerah pesisir nusantara. Budaya serupa juga dapat dijumpai di beberapa tempat lain, seperti: Aceh, Riau dan semenanjung Malaysia. Namun nonggok di warung kopi di Pontianak punya keunikan tersendiri. Keunikan tersebut adalah lamanya waktu orang kongkow-kongkow di tempat itu. Tak jarang ada orang yang menghabiskan hari hanya dengan duduk dan ngobrol di warung kopi. Sedari pagi hari hingga ke sore hari. Ada pula yang hanya memesan secangkir kopi (terkadang malah yang pancung atau gelas kecil), namun membutuhkan waktu empat sampai lima jam untuk menghabiskannya. Hebatnya lagi! Tak pernah sekali pun, ada pengunjung warung kopi yang diusir penjualnya karena terlampau lama duduk di warungnya. Karena demikianlah adanya, budaya bercengkrama di warung kopi di kota tercintaku, Pontianak.

Budaya nongkrong di warung kopi ini masih berlangsung hingga saat ini. Dan menjadi tradisi wajib bagiku saat pulang ke Pontianak. Hampir di semua pojok dan penjuru kota dapat dengan mudah kita jumpai keberadaannya. Tapi dimanapun tempatnya, suasana guyub dan kekeluargaannya tetaplah sama.