Thursday, October 18, 2007

Betarek


Di awal puasa yang lalu, kusempatkan diri pulang kembali ke kampong halaman, bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Kepulangan ini kuniatkan menjadi pengganti ketidak pulanganku di saat Idhul Fitri. Tiket yang harganya melambung selangit serta keinginan istriku untuk berlebaran di Jakarta merupakan salah dua penyebab ketidakpulanganku berlebaran tahun ini. Walaupun rindu juga rasanya berlebaran di kampong halaman. Tahun ini akan menjadi tahun kedua berada di rantau orang. Mungkin tahun yang akan datang Yang Maha Kuasa melapangkan rejekiku dan memberikan kesempatan berlebaran kembali di kota tercinta.

Saat melintas di depan Mesjid Mujahidin, kuamati sekilas pelaksanaan rehabilitasi mesjid yang kalau tak salahku didesain oleh Ir. Said Djafar dan diresmikan bertepatan dengan pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) pada tahun 1980-an. Walaupun belum selesai, sudah mulai tampak perkembangan rehabilitasinya. Kubah baru mesjid ini secara khusus dipesan di Yogyakarta dan harganya pun tergolong fantastis menembus harga milyaran rupiah. Cerita ini kuperoleh seorang kakak kelasku sewaktu SMA dahulu, yang ditunjuk menjadi arsitek rehabilitasi mesjid ini, saat kami berjumpa di Bandara Adisucipto Yogyakarta satu bulan sebelumnya. Mudahan-mudahan saja, rehabilitasi yang cukup mahal ini dapat bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat Kalimantan Barat.

Saat melihat halaman luas yang dimiliki mesjid ini, satu kenangan yang tiba-tiba saja muncul di benakku adalah betarek atau balapan sepeda. Dulu, di pertengahan 1980-an, areal lapangan mesjid ini pernah digelar balapan sepeda BMX yang diikuti oleh anak-anak SD dan SMP. Sebelum kemudian dipindahkan ke areal Stadion Sultan Abdurrahman. Setiap sore banyak anak-anak, tak padang suku dan agama, dari penjuru kota yang bermain sepeda, betarek ataupun hanya sekedar menonton orang lain betarek di halaman mesjid ini. Selain betarek berkeliling lintasan yang ada di halaman mesjid, sering pula diselingi unjuk ketangkasan, seperti: standing (bersepeda dengan roda depan diangkat), jumping (melayangkan sepeda dengan bantuan undakan miring) ataupun angkat dua ban melewati orang yang berbaring, serta trik-trik bersepeda lainnya mengikuti film BMX-Bandit yang populer pada masa itu.

Masa itu, sepeda merupakan kendaraan utama bagi anak SD dan SMP. Masihlah amat jarang melihat anak-anak SD ataupun SMP berkendaraan motor. Bahkan di sekolahku, di SMP Negeri 1 Pontianak, ada aturan larangan bagi muridnya untuk membawa motor ke sekolahan. Aturan demikian ini tampaknya sudah tak berlaku lagi saat ini. Lihat saja di jalanan, banyak sekali anak-anak yang umurnya belum memadai memiliki izin mengemudi yang berseliweran berkendaraan motor. Padahal, kelakuan ini bukan saja membahayakan diri mereka, tapi juga pengguna jalan lainnya.

Nah, salah satu jagoan betarek pada masa itu adalah Maruki Matsum, yang berasal dari 'Geng Bocek' atau singkatan dari Bocah Ekasari, yang merupakan kumpulan anak-anak yang bermukim di sekitar Gang Ekasari-Podomoro. Aksi dan atraksi dari Maruki merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu, tak ubahnya kita saat ini melihat Valentino Rossi beraksi di lintasan MotorGP. Kekuatan, kecepatan, ketahanan dan napasnya yang tak ada habisnya menjadikan Maruki menjadi raja dalam setiap gelaran. Karirnya Maruki bersepeda tak hanya terputus di arena betarek saja, juara Pekan Olah Raga Nasional dan SEA Games pun pernah diraihnya dikemudian hari, mengikuti jejak pendahulunya Johnny Van Aert. Pada era 1980-1990-an, pembalap Kalimantan Barat menjadi langganan juara dalam gelaran nasional dan amat disegani. Namun kini, masih ndak ye?